Aji terbangun ketika sinar matahari membelai pipinya.
"Astaghfirullah, sudah siang."
"Astaghfirullah, sudah siang."
Dia pun segera cuci muka dan berganti baju. Setelah mencuci mukanya, dia pun berjalan keluar dari perkampungan sambil membawa karungnya.
Semua tempat sampah terlihat sudah "dibersihkan" oleh teman-teman pemulungnya. Tidak ada lagi botol dan gelas plastik di jalanan. Aji meneruskan perjalananya ke Perumahan Maharaja, sebuah komplek elite. Walaupun banyak anjing dan satpamnya terkenal galak, tapi semua teman seprofesinya sangat menyenangi komplek tersebut. Banyak barang berharga yang bisa diambil di tempat sampahnya.
"Pagi, Pak," sapa Aji seprti biasa kepada Pak Andi sang Koordinator Satpam. Biasanya pak Andi akan mengangguk.
"Ji, sini dulu," panggil Pak Andi sambil berkacak pinggang. Matanya merah melotot.
"Ya, Pak."
"Darimana kamu tadi pagi?" tanya Pak Andi.
"Oh, saya ketiduran, Pak. baru bangun, makanya kesiangan," jawab Aji.
"Jangan bohong kamu!!!!" hardik pak Andi dengan keras.
Aji kaget. Tidak biasanya Pak Andi bersikap seperti itu.
"Betul, Pak. Saya baru bangun. memang kenapa, Pak?"
"Jangan sok tanya kamu. Kamu tadi pagi mencuri sepeda, ya?"
"Astaghfirullah." Aji kaget. Dia terdiam untuk menenangkan emosinya.
"Saya baru bangun, pak. Bagaimana mungkin saya mencuri sepeda tadi pagi."
"Kalau kamu tidak mau mengaku, akan saya laporkan ke polisi."
Walaupun Aji sudah mencoba menjelaskan, Pak Andi sudah tidak percaya padanya. Akhirnya Aji dibawa ke kantor polisi.
Aji sangat marah. Mukanya memerah. Tangannya terkepal erat. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Di kantor polisi dirinya disuruh duduk di lantai. Semua mata memandang kepadanya. Mereka memandanginya dari ujung kaki sampai ujung rambut dengan penuh kebencian.
"Sini kamu," panggil seorang anggota polisi yang sedang mengetik.
Aji mendekat.
"Nama?"
"Aji, Pak."
"Umur?"
"Lima belas tahun, Pak."
"Alamat rumah?"
"Di bawah jembatan Besar."
"Lho, kamu gelandangan, ya. Nanti kamu harus dikirim balik ke daerahmu."
Aji hanya terdiam.
"Kemana kamu tadi pagi?"
"Saya tidur, Pak."
"Hey, jangan bohong kamu. Mana ada pemulung tidur pagi. Ayo jawab yang benar!!!"
"Benar, Pak. Saya memang biasanya kerja pagi, tapi tadi pagi saya tertidur karena semalam agak pusing."
" Hei, Ji. Kamu jangan bohong. Tadi pagi jam 5 ada yang melihat kamu mencuri sepeda di komplek Maharaja. Ciri-cirinya pas dengan kamu. jadi ngaku aja."
"Benar, Pak. Jam 5 pagi saya masih di rumah, Pak."
"Ah, bohong kamu. Kalo kamu nggak mau mengaku sekarang ya sudah, kamu harus duduk terus di dalam sel sampai kamu mengaku. Mau kamu?"
"Jangan, Pak. benar saya tidak mencuri, Pak."
"Kamu puasa?"
"Puasa, Pak."
"Lha, kalo puasa kenapa mencuri dan berbohong?"
Muka Aji semakin memerah. Tiap hari selama dua belas bulan dia berpuasa, tapi baginya puasa di bulan Ramadhan adalah yang paling berarti baginya. Selalu ditunggunya bulan Ramadhan dengan harapan semakin besar rahmat Allah agar diampuni dosa-dosanya dan dikabulkannya doa-doanya. Betapa dirinya berusaha beribadah di malam hari selama bulan Ramadhan dengan mengurangi jam tidurnya walaupun badannya sangat lelah. Betapa besar harapannya agar doanya untuk berkumpul dan membahagiakan ibunya segera dikabulkan oleh Allah. Tapi kini, dirinya direndahkan dengan tuduhan mencuri dan berbohong.
"Kenapa diam saja. Ayo jawab."
Aji masih terdiam.
"Ini bulan Ramadhan. Makanya saya tidak mungkin berbohong dan mencuri, Pak. Kalau di bulan lain saya tidak berani mencuri dan berbohong, apalagi di ramadhan, Pak," kata Aji setelah dapat mengendalikan dirinya.
Polisi itu memandang tajam ke arah Aji. Aji membalas pendangan itu sebentar.
"Assalamualaikum," seru seseorang yang sudah dikenal suaranya oleh Aji.
"Waalikum salam."
Aji segera berdiri dan memeluk Pak Ustad Mansyur. Betapa senangnya dia melihat orang yang sudah dianggap bapaknya ini. Aji akhirnya menangis di pelukan Pak Ustad untuk melampiaskan kemarahan dan ketakutannya.
"Sini, kamu. belum selesai pemeriksaannya," kata Polisi tadi.
Pak Ustad pun menggandeng Aji untuk duduk kembali.
"Kenapa ini, Pak Polisi?"
"Bapak siapa?"
"Oh, saya Ustad Mansyur. Saya tinggal di jalan Merak. Saya kebetulan punya mushola. Dan ini akan didik saya."
"Begini, Pak. Tadi pagi jam 5 ada yang melihat anak ini di mencuri sepeda di Perumahan Maharaja. tapi dia tidak mau mengaku. Sebaiknya Bapak minta dia untuk mengaku"
"Oh...Begini, Pak. Jam 5 saya dan anak-anak didik saya sedang mengaji, Pak. Itu rutin setiap hari. Jadi saya jamin, Aji tidak mencuri karena dia sedang bersama saya dan anak didik saya yang lain mengaji bersama. Bapak bisa tanyakan hal ini ke anak-anak yang lain. saya jamin, Pak."
"Bapak tidak bohong?"
"Pak, saya ini dipercaya sebagai Ustad oleh lingkungan saya. Saya tidak akan jadi ustad hanya karena saya punya mushola tapi saya suka bohong. Apalagi sekarang ramadhan, Pak. Sekarang kalau boleh saya ingin menayakan siapa yang mengatakan bahwa Aji mencuri? bagaimana mungkin di yakin bahwa anak inilah yang mencuri?"
"Pak Andi, tolong jelaskan!"
Pak Andi pun mendekat.
"Begini, Pak. Memang tidak ada yang dengan jelas pencurinya karena masih gelap. Tapi menurut pemilik rumah ciri-cirinya cocok dengan anak ini."
Pak Polisi itupun terhenyak. Mukanya memerah. Semua terdiam.
"Baiklah, Pak Ustad. Anak ini boleh pulang. Tapi saya harap dia datang lagi kalau dibutuhkan."
"baik, Pak Polisi. Ayo, Ji. Kita pulang."
Aji segera berdiri. Sambil berjalan pulang, dipegangnya erat-erat tangan Pak Ustad.
"Yang sabar, Ji. Ini bulan Ramadhan. Kalau kamu bersabar, maka Allah akan melimpahkan pahala yang berlimpah."
Aji mengangguk sambil terus memegang tangan Pak Ustad. Hari itu, dia ingin tidak melepaskan tangan orang yang sangat disayangi dan dihormatinya tersebut.