Kamis, 13 November 2008

Cinta Ramadhan





Pagi itu Aji masih membaca buku pelajarannya. Karungnya masih dijemur di atap gubuk. Hari ini dia ingin bersekolah dulu di pagi hari. Siang nanti baru dia akan berkeliling mencari barang bekas.

Dilihatnya jam menunjukkkan pukul 6. Dia pun bergegas menuju ke kamar mandi. Ketika dilihatnya kamar mandi masih penuh oleh ibu-ibu yang mencuci pakaian, dia pun menuju ke mushola.

Segar terasa saat air keran menerpa mukanya. Apalagi saat ditundukkannya kepalanya sehingga air keran dapat membasahi seluruh bagian kepalanya. Diambilnya sabun dan diusapnya seluruh kepala, tangan dan kakinya dengan sabun tersebut. Setelah itu dibilasnya busa-busa sabun di tangan, kepala dan kakinya.

Cukup sudah acara membersihkan badan pagi ini. Segera Aji pulang dan berganti baju. Diambilnya tas sekolahnya dan dipakainya sepatu bututnya. Dirinya tersenyum sendiri saat melihat jempol kaki mencuat dari ujung sepatunya.

"Ji, kamu sekolah nggak hari ini? Besok Senin ulangan lho," kata Asep, temannya sesama pemulung dari depan gubuk.
"Sekolah. Ayo berangkat. Aku sudah siap," kata Aji sambil keluar dari gubuknya.

Keduanya segera berjalan ke bawah jembatan. Suasana sekolah di bawah jembatan sudah ramai. Hari itu banyak yang masuk sekolah karena minggu depan ulangan sebelum libur lebaran. Keramaian berhenti saat para guru dan Pak Ustad Mansyur datang. Para murid mencium tangan para guru dan bergegas duduk di kursi.

Pelajaran berlangsung hingga pukul 12. Para murid kembali mencium tangan para guru dan berhamburan ke gubuk masing-masing. Mereka harus segara kembali bekerja.

Aji segera mengganti baju sekolahnya setelah sampai ke rumah. Dia mengambil karungnya dan bersiap berkeliling. Ketika keluar dari gubuknya, dilihatnya si Budi temannya sesama pemulung sedang menghitung uang.

"Wah, banyak uang nih," kata Aji kepada Budi.
"Eh, Ji. Iya nih. Aku lagi hitung uang buat beli sepeda. Ada yang jual sepeda murah tuh, masih bagus lagi. Lumayan, Ji. Buat adikku di Pandeglang."
Sepeda!!! Pikiran Aji segera teringat kejadian di kantor polisi saat dirinya dinterogasi karena dituduh mencuri sepeda.

"Siapa yang jual sepeda, Bud?"
"Itu, si Jabrik yang tinggal di belakang pabrik tahu. Kemarin dia mengajak aku ke rumahnya untuk lihat sepedanya. Bagus sepedanya."
"Sepeda dari mana dia?"
"Katanya sih dari di pasar loak."
Aji terdiam. Dia tahu si Jabrik. Anak tersebut sudah terkenal gesit sehingga beberapa kali juara panjat pinang. Namun, beberapa kali juga dia berurusan dengan polisi karena suka mencuri.
"Jangan-jangan dia pencuri sepeda di Perumahan Maharaja. Pantas aku yang dikira mencuri, karena memang tingginya sama dengan aku," pikir Aji.

"Aku ikut dong, Bud. Aku ingin lihat sepedanya."
"Ayo..."

Budi dan Aji menuju ke rumah Jabrik. Terlihat si Jabrik sedang tiduran sambil menonton TV di gubuknya.
"Hei, Brik. Lagi santai nih? Mana sepedanya?" Sapa Budi.
"Iya. Masak kerja melulu. Tuh sepedanya," kata Jabrik sambil menunjuk sepeda yang bersandar di jendela dalam gubuknya.
Aji tercekat. Sepeda tersebut benar-benar masih baru. Tidak mungkin Jabrik membelinya di pasar loak.
"Nih uangnya. Dua ratus ribu, khan?" tanya Budi sambil menyerahkan gulungan uangnya.
Jabrik segera menghitung uang yang diserahkan Budi.
"Tambah dua puluh lima ribu lagi dong," pinta Jabrik.
"Wah, lu gimana sih, Brik. Kata lu kemarin dua ratus ribu."
"Ya, itu kemarin. Kalau mau yang silakan kalau ngak mau ya gue balikin duitnya nih. masih banyak yang mau," kata jabrik sambil menyerahkan kembali uang ke Budi.
"Yah, gue udah nggak punya uang, Brik," sesal Budi.

Karena tidak terjadi kata sepakat, akhirnya Budi pulang dengan tangan hampa. Dirinya kesal bukan kepalang.
"Sabar, Bud. Ini bulan puasa," hibur Aji.
"Iya sih. Tapi dasar Jabrik bikin gue kesel aja. Khan kasihan adik gue kalau tahu nggak jadi dibeliin sepeda," sungut Budi.
"Tapi, Bud, aku curiga deh sama sepeda tadi. Masak sepeda masih baru begitu beli di pasar loak," kata Aji.
"Maksud lu, dia mencuri gitu?" Tanya Budi.
"Ya, kita nggak boleh buruk sangka sih. Tapi aku kemarin diperiksa di kantor polisi karena dikira mencuri sepeda di komplek Maharaja. Untung datang Pak Ustad yang menjelaskan kalau aku masih mengaji jam 5 pagi hari itu."
"Hmmm...mungkin juga ya Bud. Gimana kalau kita temui Ustad Mansyur untuk memberi tahu hal ini."
"Ayo!"

Berdua mereka bergegas ke rumah Ustad Mansyur.
"Assalamualaikum," salam Aji dan Budi dari depan rumah Pak Ustad mansyur.
"Waalaikumsalam," balas Pak Ustad Mansyur dari dalam rumahnya." Wah, ada apa nih siang-siang pada kesini. Udah pada sholat Lohor belum?"
"Belum, Pak Ustad. Ada hal penting yang ingin kami beritahukan," kata Aji.
"Silakan-silakan masuk. Silakan duduk. Tapi janji ya, setelah ini kalian harus sholat Lohor dulu."
"Baik, Pak Ustad," kata Aji dan Budi berbarengan.
"Pak ustad ingat kejadian minggu lalu saat saya dibawa ke kantor polisi?" Tanya Aji.
"Iya. Kenapa. Kamu dipanggil lagi sama polisi, Ji?"
"Bukan, Pak Ustad. Tadi saya dan Budi ke rumah si Jabrik. Itu anak yang tinggal di belakang pabrik tahu. Dia tadi jual sepeda ke Budi tapi batal karena minta tambahan duit. Nah, saya curiga sama sepeda tersebut, Pak Ustad. Bukan maksudnya su'udzon nih pak Ustad. Jangan-jangan sepeda itu yang dicuri dari Komplek Maharaja. Soalnya sepedanya masih baru jadi nggak mungkin dibeli dari pasar loak," kata Aji.
"Oh..." kata pak Ustad sambil manggut-manggut. " Begini saja. Kita ke komplek Maharaja. Kita laporkan ke Pak satpamnya, biar mereka yang mencari informasi."
"Bapak saja, ya. Saya masih takut, Pak," pinta Aji.
"Sama saya aja, Pak Ustad,"kata Budi.

Aji akhirnya tidak ikut. Setelah sholat berjamaah dengan Budi, dirinya berkeliling.

Menjelang Maghrib Aji bergegas kembali ke gubuknya. Sesampai di depan perkampungan pemulung, dilihatnya ada mobil bak tertutup sedang menurunkan kardus. Aji tidak terlalu memperhatikan mobil tersebut dan orang-orang yang sedang menurunkan kardus. Dia ingin segera mandi dan ke Mushola untuk sholat.

Selesai mandi terdengar Adzan Magdrib sudah bergema. Segera Aji meneguk air putih dari botol plastiknya. Tak lupa dirinya berdoa berbuka puasa. Dia pun bergegas ke Mushola.

Sesampai di Mushola, sholat Maghrib sudah dimulai. Aji segera mengikuti sholat berjamaah tersebut.

Selesai sholat, semua duduk untuk mendengarkan ceramah dari Pak Ustad.
"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Alhamdulillah, hari ini kita sudah menyelesaikan hari ke-22 puasa Ramadhan kita. Begitu banyak kenikmatan Ramadhan yang telah kita rasakan.
Hari ini kita kedatangan tamu yaitu Pak Imam yang duduk disebelah sana. Pak Imam datang untuk memberikan makanan berbuka dan shodaqoh bagi kita semua. Selain itu, Pak Imam ingin memberikan hadiah atas kesabaran seorang jamaah Mushola ini yang sangat sabar dalam menghadapi cobaan di bulan yang penuh berkah ini. Jadi, saya nggak akan banyak bicara saat ini. Lebih baik kita makan dulu jamuan dari pak Imam."

Kotak makanan segera dibagikan. Jumlahnya sangat banyak, sehingga kotak makan dibagikan juga kepada ibu-ibu dan anak-anak yang tidak hadir di Mushola.
'Kasih yang rata ke semua warga ya, termasuk yang tidak puasa. Kotaknya banyak sekali jadi cukup untuk semua warga," kata Pak Ustad kepada anak-anak yang membagi makanan berbuka tersebut.

Selesai makan, Pak Ustad mempersilakan Pak Imam untuk memberikan sambutannya.
"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Hadirin yang saya kasihi, ijinkan saya untuk menyampaikan sepatah dua patah kata. Sebelumnya saya ingin menyampaikan maaf kepada Aji. Yang mana Aji?"
Pak Ustad pun segera memanggil Aji untuk mendekat ke Pak Imam.
"Aji, saya dan keluarga serta para satpam di komplek saya mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada kamu. Kami telah menuduh kamu mencuri sepeda anak saya sehingga kamu dibawa ke kantor polisi. Kamu mau khan memaafkan kami?"
Aji terbengong-bengong. Namun akhirnya dia mengangguk.
"Terima kasih Aji. Semoga Allah SWT memberikan pahala buat kamu dan memafkan dosa-dosa kami."
"Amiiin..," kata seluruh hadirin
"Selain itu, saya juga ingin memberikan sedikit bantuan untuk sekolah dan Mushola ini. Pak Ustad telah menyadarkan saya perlunya membersihkan harta. Alhamdulillah, Tuhan masih memberikan kesempatan kepada saya untuk membersihkan harta saya. Selama ini saya telah khilaf karena mengira harta yang saya peroleh dengan bekerja keras tiap hari adalah hak saya sepenuhnya. semoga sumbangan yang tidak seberapa ini dapat berguna bagi kita semua."
"Amiiin.."
"Hmm...saya rasa cukup. Maaf tidak bisa berlama-lama karena harus kembali ke kantor. Terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullah Wabaraktuh."
"Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh."
Pak Imam lalu pamit untuk pulang. Dia bersalaman dengan seluruh hadirin.
Saat akan pulang, dia berbicara dulu dengan Pak Ustad. Pak Ustad lalu memanggil Aji.
"Ji, sini dulu."
"Ya, Pak Ustad."
"Ji, Pak Imam senang kamu sudah memafkan keluarganya. Makanya beliau ingin memberi kamu hadiah. Tadi Pak Imam tanya asal kamu. Begitu tahu kamu dari Bantul pak Imam menjanjikan memberi tiket bus pulang pergi. Kamu mau khan? Kamu khan pasti sudah kangen dengan ibumu."
Aji tidak mampu berkata apa-apa. Dia hanya mengangguk.
"Ji, besok kamu ke rumah Bapak, ya," pinta Pak Imam.
Kembali Aji hanya mengangguk.

"Baik Pak Ustad, Ji, saya pulang dulu. jangan lupa besok ya, Ji. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."

Pak Imam membuka pintu belakang mobilnya. Tampak seorang gadis yang duduk di dalamnya. Gadis tersebut tersenyum kepada Aji.
"Arni, itu Aji. Dia besok akan ke rumah kita. Bukan begitu Aji?"

Aji tidak mampu berkata apa-apa. Pandangannya berbinar-binar. Pikirannya dipenuhi oleh tiga orang wanita. Ibunya dan neneknya di kampung, serta...bidadari yang tersenyum dari balik pintu mobil tadi.

Pak Ustad mengelus dada melihat Aji diam tertegun sambil senyum-senyum sendiri.

"Istighfar, Ji." kata Pak Ustad sambil berlalu setelah mobil Pak Imam pergi.

Aji pun beranjak sambil tersipu.

Rabu, 12 November 2008

Nabi Adam AS


Adam adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT. Setelah itu, Allah SWT menciptakan Hawa untuk menjadi teman dan istri Adam. Mereka tinggal di surga. Di surga semuanya sangat indah dan menyenangkan. Semua tanaman tumbuh dengan subur. Hewan-hewan juga sehat dan gemuk-gemuk. Sungainya jernih mengalir dengan tenangnya. Udara sangat sejuk.


Adam dan Hawa sangat senang tinggal di surga. Mereka dapat makan apa saja. Semua sudah tersedia dan dapat langsung dimakan. Hanya satu buah yang tidak boleh dimakan oleh Adam dan Hawa, yaitu buah khuldi.


Adam dan Hawa sangat mematuhi perintah Allah SWT sehingga mereka tidak berani mendekati pohon khuldi tersebut. Namun, rupanya iblis yang jahat dan pendendam berusaha membujuk mereka. Segala kebohongan dan tipuan dikatakan oleh iblis untuk mempengaruhi Adam dan Hawa.


Suatu hari, Adam dan Hawa terlena. Mereka terperdaya rayuan iblis. Pelan-pelan iblis membujuk Adam dan Hawa untuk mendekati pohon khuldi. Setelah dekat, iblis merayu mereka agar memetik buah khuldi dan mencicipinya sedikit saja. Adam dan Hawa akhirnya terperdaya oleh iblis sehingga mencicipi buah terlarang tersebut.


Mengetahui bahwa Adam dan Hawa melanggar perintah, Allah SWT menghukum mereka. Adam dan Hawa harus turun ke bumi. Mereka tidak boleh kembali ke surga sampai dosa-dosa mereka diampuni.


Adam dan Hawa sangat malu. Mereka akhirnya turun ke bumi. Selama hidupnya di bumi mereka dengan sungguh-sungguh menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya agar diampuni dosa-dosanya.


Adam dan Hawa mendapatkan mempunyai beberapa anak. Anak-anak mereka terus berkembang menjadi beberapa suku bangsa yang ada pada saat ini.


Seluruh umat manusia saat ini adalah keturunan Adam dan hawa. Seluruh umat manusia harus meneladani Adam dan Hawa untuk menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya agar mereka bisa kembali ke surga.

Senyum Kemenangan




Bimbi beruang sebenarnya sudah bangun pagi itu. Tapi, matanya terasa masih berat. Selain itu, dia malas bangun untuk sahur.


"Bimbi, ayo bangun, Nak," panggil ibunya.
Bimbi diam saja. Dia pura-pura masih tidur.
"Bimbi, cepat bangun. Nanti keburu imsak."
Bimbi masih diam saja.
"Ya sudah kalau nggak mau bangun. Ibu masak sop dan ayam goreng. Nih, Pak. habiskan aja ayam gorengnya karena Bimbi nggak sahur pagi ini."
Mendengan ayam goreng disebut-sebut, Bimbi pun segera bangun. Sambil mengusap-usap matanya, dia duduk di meja makan.
Bapak dan ibu tersenyum melihat tingkahnya.


Hari ini puasa hari terakhir. Betapa bangganya Bimbi karena ini adalah Ramadhan pertama baginya berpuasa sebulan penuh. Tidak ada lagi ejekan dari teman-temannya. Yang ada adalah kebahagiaan bagi dirinya dan kedua orang tuanya. Apalagi, bapak dan ibunya menjanjikan hadiah untuknya apabila mampu berpuasa sebulan penuh.


Sore hari sebelum berbuka puasa, Bimbi berputar-putar keliling komplek perumahannya naik sepeda motor bersama bapaknya. Suasana sudah sepi karena sudah banyak tetangga yang mudik. Teman-teman bermainnya pun sudah tidak ada yang bermain di jalanan sore itu.


Bapak dan Bimbi pun meneruskan jalan-jalan sore itu keluar komplek. Ketika berada di jalan raya, Bimbi melihat temannya si Tikus. Dilihatnya Si Tikus berjalan dari satu tempat sampah ke tempat sampah lainnya. Karung yang dipegangnya masih kosong.


"Assalamuaalaikum, Tikus," salam Bimbi.
"waalaikum salam, Bimbi, Pak," jawab si Tikus.
"Kamu masih kerja?" Tanya Bimbi.
"Iya, Bimbi. Kalau nggak kerja, aku nggak bisa sekolah dong," jawab Tikus sambil tersenyum.
"Kok karung kamu masih kosong. Kamu baru keluar rumah, ya?"
"Aku sudah keluar dari pagi, tapi hari ini aku cuma dapat sedikit karena tempat sampah pada kosong. Mungkin sudah pada mudik."
"Ohhh...kamu nanti makan apa kalau nggak dapat duit?"
"Ah, aku biasa nggak makan. Lagipula, nanti malam khan ada pembagian zakat, pasti aku dapat beras dan duit dari masjid."


Bimbi terdiam. Sulit baginya memahami keadaan si Tikus. Dia hanya bersedih mengapa temannya miskin. Tapi, dia juga heran dan kagum, karena temannya tersebut selalu tersenyum dan sangat pintar di sekolah.

Adzan Maghrib bergema. Seluruh dunia berbahagia. Idul fitri telah tiba.


Bapak dan ibu segera berbuka. Mereka sangat bahagia karena Bimbi berhasil berpuasa sebulan penuh.
"Bimbi, ayo berbuka, anak hebat," ajak bapak.
Tapi Bimbi diam saja.
Bapak dan ibu terheran-heran. Biasanya Bimbi sangat heboh kalau berbuka.
"Ada apa, Bimbi? Kamu sakit?"
Bimbi menggeleng.
Ibu mendekat sambil membawa segelas kolak. Disuapinnya anak kesayangannya tersebut.
"Kenapa sayang?" tanya ibu sambil menyuapi.
"Bu, ibu ingat khan pernah janji kasih hadiah kalau Bimbi berpuasa sebulan penuh?"
"Oh, itu. Tentu Bimbi. Bimbi mau hadiah apa?"
"Bimbi mau uang, Bu."
"Oh, boleh aja. Ibu dan bapak sudah sepakat memberi hadiah kamu Rp. 300 ribu kalau kamu berpuasa penuh tahun ini? Kamu mau beli apa?"
"Bu. Aku nggak ingin beli apa-apa. Bu, boleh nggak kalau uangnya aku berikan kepada si Tikus. Tadi aku ketemu dia. Dia nggak punya uang karena nggak dapat botol plastik hari ini."

Bapak dan ibunya terkejut. Ibunya pun memeluk Bimbi erat-erat. Ada air mata menggenang di pelupuknya.
"Tentu boleh, Bimbi."

Selesai sholat Maghrib, Bimbi diantar ibu dan bapaknya ke rumah si Tikus.

"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam," jawab Bapak si Tikus. "Wah, ada tamu besar, nih. Silakan masuk. Maaf rumahnya kotor," ajak Bapak Tikus sambil menyalami tamu-tamunya.
"Tikus ada, Pak?" tanya Bimbi.
"Oh, ada...ada. tunggu sebentar, ya."
Bapak si Tikus pun keluar rumah. Tak lama kemudian datang lagi bersama dengan si Tikus.

"Eh, Bimbi. Udah lama ya. Maaf ya, aku baru mandi."
"Nggak apa-apa."
"Tumben malam-malam kesini, Bimbi. Biasanya kamu kesininya siang."
"Eh...ini. Aku mau kasih ini ke kamu," kata Bimbi sambil memberikan amplop.
"Apa ini?"
"Ini uang dari aku, bapak, dan ibuku. Aku pengin kamu bisa beli baju dan sepatu baru."
Tikus hanya terdiam waktu menerima amplop tersebut. Lalu, dia tersenyum.
"Terima kasih, Bimbi. Kamu memang temanku yang baik," kata Tikus sambil memeluk temannya tersebut.


Bimbi pun tersenyum juga. Dilihatnya bapak dan ibunya pun tersenyum. Bapak si tikus juga tersenyum. Bahkan, meja, kursi, dan almari pun tampak tersenyum padanya. Hari itu bulan, bintang dan semua yang dilihatnya tersenyum kepadanya.

Jumat, 12 September 2008

Fitnah


Aji terbangun ketika sinar matahari membelai pipinya.
"Astaghfirullah, sudah siang."
Dia pun segera cuci muka dan berganti baju. Setelah mencuci mukanya, dia pun berjalan keluar dari perkampungan sambil membawa karungnya.
Semua tempat sampah terlihat sudah "dibersihkan" oleh teman-teman pemulungnya. Tidak ada lagi botol dan gelas plastik di jalanan. Aji meneruskan perjalananya ke Perumahan Maharaja, sebuah komplek elite. Walaupun banyak anjing dan satpamnya terkenal galak, tapi semua teman seprofesinya sangat menyenangi komplek tersebut. Banyak barang berharga yang bisa diambil di tempat sampahnya.
"Pagi, Pak," sapa Aji seprti biasa kepada Pak Andi sang Koordinator Satpam. Biasanya pak Andi akan mengangguk.

"Ji, sini dulu," panggil Pak Andi sambil berkacak pinggang. Matanya merah melotot.

"Ya, Pak."

"Darimana kamu tadi pagi?" tanya Pak Andi.

"Oh, saya ketiduran, Pak. baru bangun, makanya kesiangan," jawab Aji.

"Jangan bohong kamu!!!!" hardik pak Andi dengan keras.

Aji kaget. Tidak biasanya Pak Andi bersikap seperti itu.

"Betul, Pak. Saya baru bangun. memang kenapa, Pak?"

"Jangan sok tanya kamu. Kamu tadi pagi mencuri sepeda, ya?"

"Astaghfirullah." Aji kaget. Dia terdiam untuk menenangkan emosinya.

"Saya baru bangun, pak. Bagaimana mungkin saya mencuri sepeda tadi pagi."

"Kalau kamu tidak mau mengaku, akan saya laporkan ke polisi."

Walaupun Aji sudah mencoba menjelaskan, Pak Andi sudah tidak percaya padanya. Akhirnya Aji dibawa ke kantor polisi.


Aji sangat marah. Mukanya memerah. Tangannya terkepal erat. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.


Di kantor polisi dirinya disuruh duduk di lantai. Semua mata memandang kepadanya. Mereka memandanginya dari ujung kaki sampai ujung rambut dengan penuh kebencian.


"Sini kamu," panggil seorang anggota polisi yang sedang mengetik.

Aji mendekat.

"Nama?"

"Aji, Pak."

"Umur?"

"Lima belas tahun, Pak."

"Alamat rumah?"

"Di bawah jembatan Besar."

"Lho, kamu gelandangan, ya. Nanti kamu harus dikirim balik ke daerahmu."

Aji hanya terdiam.

"Kemana kamu tadi pagi?"

"Saya tidur, Pak."

"Hey, jangan bohong kamu. Mana ada pemulung tidur pagi. Ayo jawab yang benar!!!"

"Benar, Pak. Saya memang biasanya kerja pagi, tapi tadi pagi saya tertidur karena semalam agak pusing."

" Hei, Ji. Kamu jangan bohong. Tadi pagi jam 5 ada yang melihat kamu mencuri sepeda di komplek Maharaja. Ciri-cirinya pas dengan kamu. jadi ngaku aja."

"Benar, Pak. Jam 5 pagi saya masih di rumah, Pak."

"Ah, bohong kamu. Kalo kamu nggak mau mengaku sekarang ya sudah, kamu harus duduk terus di dalam sel sampai kamu mengaku. Mau kamu?"

"Jangan, Pak. benar saya tidak mencuri, Pak."

"Kamu puasa?"

"Puasa, Pak."

"Lha, kalo puasa kenapa mencuri dan berbohong?"

Muka Aji semakin memerah. Tiap hari selama dua belas bulan dia berpuasa, tapi baginya puasa di bulan Ramadhan adalah yang paling berarti baginya. Selalu ditunggunya bulan Ramadhan dengan harapan semakin besar rahmat Allah agar diampuni dosa-dosanya dan dikabulkannya doa-doanya. Betapa dirinya berusaha beribadah di malam hari selama bulan Ramadhan dengan mengurangi jam tidurnya walaupun badannya sangat lelah. Betapa besar harapannya agar doanya untuk berkumpul dan membahagiakan ibunya segera dikabulkan oleh Allah. Tapi kini, dirinya direndahkan dengan tuduhan mencuri dan berbohong.

"Kenapa diam saja. Ayo jawab."

Aji masih terdiam.

"Ini bulan Ramadhan. Makanya saya tidak mungkin berbohong dan mencuri, Pak. Kalau di bulan lain saya tidak berani mencuri dan berbohong, apalagi di ramadhan, Pak," kata Aji setelah dapat mengendalikan dirinya.

Polisi itu memandang tajam ke arah Aji. Aji membalas pendangan itu sebentar.


"Assalamualaikum," seru seseorang yang sudah dikenal suaranya oleh Aji.

"Waalikum salam."

Aji segera berdiri dan memeluk Pak Ustad Mansyur. Betapa senangnya dia melihat orang yang sudah dianggap bapaknya ini. Aji akhirnya menangis di pelukan Pak Ustad untuk melampiaskan kemarahan dan ketakutannya.

"Sini, kamu. belum selesai pemeriksaannya," kata Polisi tadi.

Pak Ustad pun menggandeng Aji untuk duduk kembali.

"Kenapa ini, Pak Polisi?"

"Bapak siapa?"

"Oh, saya Ustad Mansyur. Saya tinggal di jalan Merak. Saya kebetulan punya mushola. Dan ini akan didik saya."

"Begini, Pak. Tadi pagi jam 5 ada yang melihat anak ini di mencuri sepeda di Perumahan Maharaja. tapi dia tidak mau mengaku. Sebaiknya Bapak minta dia untuk mengaku"

"Oh...Begini, Pak. Jam 5 saya dan anak-anak didik saya sedang mengaji, Pak. Itu rutin setiap hari. Jadi saya jamin, Aji tidak mencuri karena dia sedang bersama saya dan anak didik saya yang lain mengaji bersama. Bapak bisa tanyakan hal ini ke anak-anak yang lain. saya jamin, Pak."

"Bapak tidak bohong?"

"Pak, saya ini dipercaya sebagai Ustad oleh lingkungan saya. Saya tidak akan jadi ustad hanya karena saya punya mushola tapi saya suka bohong. Apalagi sekarang ramadhan, Pak. Sekarang kalau boleh saya ingin menayakan siapa yang mengatakan bahwa Aji mencuri? bagaimana mungkin di yakin bahwa anak inilah yang mencuri?"

"Pak Andi, tolong jelaskan!"

Pak Andi pun mendekat.

"Begini, Pak. Memang tidak ada yang dengan jelas pencurinya karena masih gelap. Tapi menurut pemilik rumah ciri-cirinya cocok dengan anak ini."

Pak Polisi itupun terhenyak. Mukanya memerah. Semua terdiam.


"Baiklah, Pak Ustad. Anak ini boleh pulang. Tapi saya harap dia datang lagi kalau dibutuhkan."

"baik, Pak Polisi. Ayo, Ji. Kita pulang."

Aji segera berdiri. Sambil berjalan pulang, dipegangnya erat-erat tangan Pak Ustad.


"Yang sabar, Ji. Ini bulan Ramadhan. Kalau kamu bersabar, maka Allah akan melimpahkan pahala yang berlimpah."


Aji mengangguk sambil terus memegang tangan Pak Ustad. Hari itu, dia ingin tidak melepaskan tangan orang yang sangat disayangi dan dihormatinya tersebut.

Selasa, 02 September 2008

Bimbi Berbagi


Bimbi tertidur lemas. Perutnya sudah beberapa kali berbunyi. Matanya mengantuk.


Hari ini adalah hari pertama Bimbi berpuasa. Dari pagi dia hanya tiduran di tempat tidur.


"Bimbi, ayo mandi. Sudah jam 10, nih," bujuk ibunya. Tapi Bimbi tetap tak mau beranjak dari tempat tidurnya.


Pukul 6 sore tiba. Bimbi pun beranjak dari tempat tidurnya. Saat adzan Maghrib berkumandang di TV dan masjid dekat rumahnya, Bimbi pun segera minum dan makan. Satu gelas teh hangat, satu mangkok kolak, sepuluh potong pisang dan satu mangkok mie rebus disantapnya. Bapak dan ibunya hanya geleng-geleng melihat kelakuan anaknya.


Setelah selesai berbuka, Bimbi pun akhirnya mandi. Dia tidak ikut sholat Maghrib dengan Bapak dan Ibunya. Perutnya terlalu keras untuk ruku' dan sujud.


Selesai sholat Maghrib, Bapaknya mengajak Bimbi membeli gula ke toko Pak Kuda. Sengaja Bapaknya lewat di depan rumah keluarga Tikus yang menjadi pemulung. Di depan rumah Pak Tikus terlihat anak-anaknya yang sedang mengumpulkan barang-barang bekas yang mereka peroleh. Ada juga yang baru datang dengan membawa karung yang penuh dengan barang bekas.


"Kamu lihat, Bimbi. Keluarga Pak Tikus juga berpuasa. Tapi mereka tidak malas-malasan, khan. Mereka tetap bekerja giat," kata Bapak kepada Bimbi.

"Ah, masak mereka puasa, Pak. Mereka khan pasti capek berjalan-jalan jauh sambil membawa karung yang berat," kata Bimbi dengan tak percaya.

"Mereka miskin, Bimbi. Jangankan bulan Ramadhan, tiap hari juga mereka berpuasa. Bahkan mereka hanya makan sekali sehari."

Bimbi sangat takjub mendengar penjelasan Bapaknya. Dia sangat takjub membayangkan bagaimana keluarga Pak Tikus hanya makan sekali sehari tapi kuat berjalan dan menggendong karung yang terlihat berat tersebut. Dan yang membuat dirinya lebih takjub adalah temannya Si Tikus mampu menjadi juara kelas di sekolah tiap tahun di kelasnya.


Pulang dari toko, Bimbi segera memasukkan makanan ke dalam plastik.

"Lho, kok makanannya dimasukkan ke dalam plastik, Bimbi?" tanya ibunya.

"Iya, Bu. Aku mau kasihkan ke temanku Si Tikus. Kasihan dia makanannya cuma sedikt padahal pasti dia capai sekali sehabis mencari barang bekas seharian."

"Oooh...," kata ibunya sambil tersenyum.


Bimbi pun berlari ke rumah Si Tikus sambil membawa plastik berisi makanannya. Dan dia berjanji akan selalu mengurangi kerakusannya dan akan membagi makanannya dengan temannya yang pintar itu.

Jumat, 22 Agustus 2008

SURAT UNTUK AJI


"Ji, Ji...kesini!" panggil Pak Ustad dari kejauhan ketika melihat Aji pulang.

"Ya, Pak Ustad," jawab Aji sambil berlari menuju Pak Ustad.

"Ini ada surat buat kamu dari ibumu. Tadi dititipkan ke Mbok Siti yang baru pulang kampung."

"Alhamdulillah. Terima kasih, Pak Ustad. Assalamu'alaikum," kata Aji sambil mencium tangan Pak Ustad.


Aji segera menuju ke gubugnya. Setelah mencuci kaki dan tangannya, dia pun membuka amplop. Didalamnya terdapat selembar kertas sobekan buku tulis. Terdapat tulisan yang sangat dikenalnya.


Bantul, 17 Agustus 2008


Buat Aji Anakku Tercinta,


Assalamualaikum, Nak. Kamu baik-baik aja khan? Ibu dan Eyang Putri juga baik-baik aja disini.

Eyang Putri sudah bisa jalan sendiri walaupun masih pelan. Lumayan, sudah bisa mengurus diri sendiri. Hanya tangan kirinya yang masih belum bisa dipakai memegang. Luka di kepala juga sudah sembuh. Syukurlah, nenek hanya kejatuhan genting.


Sekarang kampung sini ramai lho, Ji. Semuanya senang tinggal di rumah bantuan pemerintah. Rumahnya bentuknya seperti batok kelapa. Katanya biar nggak rubuh lagi kalau ada gempa.


Tujuhbelasan disana bagaimana? Di sini ramai sekali. Ibu menang lomba masak nasi goreng lho, Ji. Lha wong tinggal masak karena bumbunya disediakan oleh panitia. Hadiahnya ceret. Bagus sekali. Eyang seneng nonton lomba, sampai-sampai pengennya nonton semua lomba. Tapi ibu nggak kasih, soalnya panas banget kalau siang. Paling sore-sore baru ibu antar sebentar ke lapangan.


Setelah eyang bisa ditinggal, ibu sekarang bantu cuci baju di rumah Bu Arto. Kamu inget khan Bu Arto. Itu lho yang bapaknya jadi guru STM. Sekarang udah pensiun. Pak Arto juga tinggal di sini. Beliau lebih betah tinggal di kampung katanya daripada harus ikut anak-anaknya ke kota besar. Padahal anak-anaknya sampai nangis-nangis waktu mengajak Ibu dan Pak Arto untuk pindah. Takut kali ya kalau gempa lagi. Bu Arto dan keluarganya baik sama ibu dan eyang. Selain digaji, ibu juga diberi beras 10 kg tiap bulan. Eyang juga sering dibelikan obat kalau sakit. Pokoknya baik deh Bu Arto dan keluarganya.


Kamu lebaran jadi pulang, Ji? Kalau belum punya uang nggak usah pulang dulu, ya. Ditabung dulu. Tahun depan kalau kamu sudah lulus SD baru pulang ke Bantul. Tabungannya buat masuk SMP dan modal jual koran.


Ya udah. Ibu bikin surat mumpung Mbok Siti pulang dan mampir ke rumah.


Baik-baik ya, Nak. Ingat sholat, baca Qur'an, baca doa dan rajin belajar. Ibu dan Eyang selalu mendoakanmu.


Wassalamu'alaikum,

Ibu


Mata Aji memerah. Air mata memenuhi pelupuk matanya. Hidungnya penuh berair. Kepalanya tertunduk.


Diambilnya foto orang tuanya. Dipandangnya wajah mereka. Wajah orang yang selalu dicintainya. Wajah orang yang selalu menyayanginya. Merekalah yang selalu diingatnya ketika segala macam rintangan menghadangnya. Bayangan merekalah yang menghangatkan tubuhnya ketika hujan menerpa tubuhnya. Bayangan merekalah yang memeluknya ketika segala macam penyakit menghantam tubuhnya. Bayangan merekalah yang mengobati luka-lukanya di sekujur tubuhnya ketika dirinya tertabrak ojek.


Aji tersenyum. Dibiarkannya air matanya membasahi pipinya. Doa dan kasih sayang orangtua dan Eyangnya akan selalu menemani hatinya. Semangat juang mereka akan selalu menegakkan dada dan kepalanya. Selalu...

Kamis, 21 Agustus 2008

Bimbi Ikut Lomba Tujuhbelasan


Bimbi beruang memegang sendok dengan erat-erat. Bapak berdiri 10 meter di depannya.
"Ya, sekarang maju perlahan-lahan," kata bapaknya.

Bimbi pun maju perlahan. Dilihatnya kelerang di pensilnya bergoyang-goyang. Dia pun menghentikan langkahnya.

"Jangan berhenti. Ayo maju perlahan dulu. Yang penting tangannya dijaga agar tidak naik turun," seru bapaknya.

Bimbi akhirnya melangkah lagi. Dia mempercepat langkahnya. Dan...kelerengnya pun jatuh ke lantai.

"Huuh...," seru Bimbi sambil membanting sendoknya.

"Hei, hei, hei...Jangan marah-marah dong, Bimbi. Kalau marah-marah nanti nggak bisa-bisa. Ayo berlatih lagi," seru bapaknya.

Pagi itu sekitar 1 jam Bimbi berlatih membawa kelereng dalam sendok. Dia ingin sekali memenangkan lomba kelereng sore nanti. Sebenarnya banyak lomba yang lain. Sebelum lomba kelereng, sore nanti ada lomba makan kerupuk dan menggambar. Bimbi sebenarnya malas ikut lomba yang lain, makanya dia tidak berlatih menggambar dan lomba makan kerupuk. Baginya, lomba menggambar itu membosankan, sedangkan lomba makan kerupuk membuat tenggorokannya sakit.

Setelah mengikuti lomba makan kerupuk dan menggambar, tibalah saat yang sangat ditunggu Bimbi yaitu lomba kelereng. Bimbi merasa yakin akan menang karena sudah berlatih tadi pagi. Dia juga sudah membawa sendok dan kelereng.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Bimbi dipanggil namanya untuk berlomba dengan Mike si meong, Gugi si anjing, dan Kiko si kuda.

"Satu, dua...tiga," seru Pak Monyet yang menjadi panitia. Bimbi pun segera melangkahkan kaki dengan cepat. Tangannya memegang sendok berisi kelereng dengan erat. Tanpa kesulitan Bimbi pun memenangkan babak pertama itu. Bimbi meloncat-loncat dengan gembira setelah mencapai garis akhir.

"Bimbi beruang, Gani gajah, Zeba zebra, dan Kiki kelinci," panggil Pak Monyet. Keempat anak yang dipanggil segera menuju ke garis awal/start.

"Karena ini babak final maka lombanya bolak-balik. Jadi setelah gars akhir, kalian harus kembali ke garis awal ini. Mengerti?"

"Mengerti!!!!!"

"Satu, dua...tiga."

Bimbi, Gani, Zeba dan Kiki segera melangkah sambil memegang sendok berisi kelereng mereka masing-masing. Bimbi dengan cepat mendahului lawan-lawannya. Setelah menyentuh garis akhir dia pun membalikkan badan untuk kembali ke garis awal. Pada saat membalikkan badan, Bimbi tidak melihat bahwa kelereng Gani yang terjatuh menggelinding ke arahnya. Ketika menginjak kelereng tersebut, Bimbi pun terjatuh.

"Aduh...yah, jatuh deh."

Bimbi hampir menangis. Dia hanya bisa memandang si Zeba dan Kiki berjalan menuju garis dan awal dan memenangi lomba tersebut. Bimbi tertunduk lesu. Didengarnya si Zeba dan Kiki bersorak-sorak merayakan kemenangan.

"Ayo, bangun Bimbi," kata bapaknya. Bimbi bangun dengan tetap tertunduk lesu. Dia segera pulang. Hatinya kesal bukan kepayang. Semalaman Bimbi diam saja. Saat belajar pun, Bimbi lebih banyak diam.

Keesokan harinya hati Bimbi masih kesal. Di sekolah dia tidak banyak bicara. Saat istirahat pun dia hanya duduk di dalam kelas.

Saat pulang sekolah tiba. Seperti biasa Bimbi dijemput naik sepeda oleh Mbaknya. Sepanjang perjalanan Bimbi juga diam saja. Ketika sampai di depan rumah, Bimbi pun masuk ke halaman dengan masih lesu.

Tiba-tiba matanya tertuju kepada sebuah sepeda mini berwarna biru di teras rumahnya. Sepeda itu terkunci di stangnya.

'Ah, itu khan sepeda mini yang aku minta ke bapak tapi belum dibelikan. Kok ada di teras rumah. Punya siapa ya?'

Bimbi segera masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah tidak ada siapa-siapa.
"Bu, Ibu? Ibu dimana?"
Bimbi mencari ke seluruh rumah tapi tidak menemukan ibunya. Tiba-tiba matanya tertuju ke sebuah kotak bersampul kado di atas meja belajarnya. Diambilnya kotak tersebut. terdapat tulisan "Buat Bimbi Tersayang' di atas kertas kadonya. Bimbi segera membuka kertas kado kotak tersebut. Ditemukannya sebuah amplop di dalamnya. Segera dibukanya amplop tersebut. Dibacanya surat yang ada di dalam amplop.


Bimbi, sayang.

Hari ini Bapak dan Ibu ada acara di kantor Bapak. kami akan pulang menjelang Maghrib. Kamu di rumah, ya. jangan nakal sama Mbak.

Oh, ya. Ini ada kunci. Ini adalah kunci sepeda mini yang ada di teras. Sepeda ini hadiah dari kantor Bapak. Dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke-63, kantor bapak memberikan hadiah buat anak pegawai yang nilainya rata-ratanya 8,5. Karena nilai kamu 8,6 maka kamu berhak mendapat sepeda mini. Selamat, ya, Sayang. Kamu boleh bermain-main sore ini. Tapi jangan ngebut, ya, Sayang.

Salam sayang,

Bapak dan Ibu


"Hore...!!!!" sorak Bimbi kegirangan. Bimbi mengepalkan tangannya tinggi-tinggi. Tidak sia-sia dia belajar tiap malam ditemani bapak dan ibunya. Tidak sia-sia dia selalu menuruti nasehat bapak dan ibunya untuk tidak sering menonton TV.

Dan dia pun berjanji akan semakin rajin belajar dan menuruti nasehat orang tuanya.





Selasa, 19 Agustus 2008

AJI



"Penuh sudah," kata Aji sambil menaruh botol plastik bekas terakhirnya ke dalam karung. Aji tersenyum sambil menyeka keringat di wajahnya. Keringat membasahi tubuhnya. Bergegas dia berbalik arah dan berjalan ke gubuknya.

Karung kumal tampak seperti menenggelamkan tubuhnya yang kecil. Walaupun demikian, langkah Aji tetap sigap sambil memanggul karung tersebut. Sesekali dia harus melompat atau menunduk bila ada portal yang menutup jalan. Perjalanan pulang selama sekitar 1 jam dilakukannya sambil menyanyikan lagu-lagu KLA Project. Dia hampir hapal semua lagu grup band kesayangannya tersebut. Lagu yang paling digemarinya adalah Yogyakarta karena mengingatkan akan kampung halamannya di Bantul.

“Sudah pulang, Ji? Cepat kali” tanya Pak Ucok yang menjadi pengepul barang para pemulung ketika Aji sampai di perkampunan pemulung.
“Sudah, Pak. Dari subuh, sih. Mau belajar ntar malam buat ulangan besok” jawab Aji sambil menyerahkan karungnya.
“Aku hitung dulu, ya. Hmm….Lumayan juga, Ji. Ada 34 gelas, 12 botol kecil, dan 16 botol besar. Jadi semuanya….hmm…23.000 rupiah. Aku tambah jadi 25.000 deh. Nih uangnya. Simpan baik-baik, jangan buat beli rokok, ya, Dhi ”
“Terima kasih, Pak. Saya pulang dulu, ya, Pak. Terima kasih, Pak”
“Ya, sama-sama” jawab Pak Ucok sambil tersenyum menatap tubuh Aji yang kecil tersebut.

Aji meletakkan karungnya yang sudah kosong di depan gubuknya. Dia tersenyum saat menatap jam beker yang terletak di lantai kardus. Jam menunjukkan pukul 4 sore, berarti dia sudah 11 jam berjalan berkeliling. Hasil kerja hari ini cukup untuk makan sampai besok sore. Bahkan, bila dia berhemat dia bisa menabung untuk membelikan oleh-oleh buat ibunya.

Hari itu Aji tidak masuk sekolah. Dia sengaja berkeliling dari subuh. Baginya, lebih baik mengumpulkan botol plastik dari subuh tapi pulang sore agar dapat tidur siang sebentar.
"Setelah tidur, pasti tubuhku sudah segar nanti malam sehingga dapat belajar untuk ulangan matematika besok pagi," katanya di dalam hatinya.

Setelah melepas pakaian pemulungnya, diapun menuju sumur untuk menimba air. Diisinya embernya dengan air dari dalam timba. Dibawanya ember berisi air ke dalam kamar mandi umum yang dibangun para pemulung. Dia mencuci bajunya dan mandi.

Selesai mandi, Aji berwudu untuk sholat Ashar di gubuk. Selesai sholat, Aji merebahkan badannya di tumpukan kardus dalam gubugnya.
"Uh, enaknya....," kata Aji sambil meregangkan badan. Dinyalakannya walkman kecil. Mengalunlah lagu-lagu KLA Project. Diambilnya foto bergambar orang tuanya. Dilihatnya foto tersebut. Dilihatnya wajah ibunya sambil tersenyum. Dia sangat senang membayangkan dirinya kan bertemu dengan orang yang sangat dicintainya tersebut 5 bulan lagi saat lebaran tiba. Tak terasa dia pun tertidur pulas dalam buaian mimpi indahnya.

Kumandang adzan Maghrib dari mushola membangunkan Aji. Dia duduk sebentar sambil mengusap matanya. Perlahan dituangnya air dari termos ke dalam gelas plastiknya. Setelah berdoa berbuka puasa, diminumnya segelas air putih tersebut. Bergegas dia mengambil sarungnya dan pergi ke mushola untuk sholat Maghrib.

"Assalamu'alaikum, Pak Ustad," kata Aji sambil mencium tangan Pak Ustad sesampainya di mushola.
"Wa'alaikum salam, Aji. Kemana kamu tadi kok tidak masuk sekolah?" tanya Pak Ustad.
"Oh, saya cari barang dari subuh, Pak Ustad. Tapi besok saya pasti masuk. Khan besok ulangan matematika, Pak Ustad."
"Ya, ya, syukur, dah," kata Pak Ustad sambil mengangguk-angguk.

Usai sholat Maghrib, Aji kembali ke gubuknya. Diambilnya buku-buku matematika dan alat tulisnya. Lalu, dia menuju ke jembatan di atas perkampungan pemulung. Dia duduk di bawah lampu di ujung jembatan. Inilah tempat favoritnya untuk belajar. Tempatnya terang dan sejuk. Dia betah berlama-lama belajar disitu.

Sekitar 4 jam Aji mengutak-atik pelajaran matematika yang dipelajarinya di sekolah. Tidak dihiraukannya gigitan nyamuk rawa di sekujur tubuhnya. Tak dihiraukannya pula suara berisik dari warung Bu Citra yang penuh dengan suara orang tertawa dengan kerasnya. Sesekali, disapanya tetangga kampung pemulung yang lewat di depannya.

Aji harus berhati-hati membaca soal dalam buku-bukunya yang sudah kumal. Tulisan dalam buku-bukunya sudah kurang jelas. Buku-buku tersebut adalah buku bekas yang dibeli dari teman pemulung lainnya. Seluruh soal di buku cetak pertama sudah dikerjakannya. Ditelitinya lagi jawabannya. Setelah yakin akan jawabannya, Aji membuka buku yang lain. Dilakukannya hal yang sama pada buku tersebut.

Tak terasa malam sudah semakin larut. Aji menghentikan belajarnya ketika seorang tukang mie lewat. Bunyi kentongan penjual mie menggugah perutnya yang belum diisi dari subuh tadi.
"Bang, mie, Bang!" panggil Aji.
"Mie rebus ya, Bang. Tidak pedas," lanjutnya ketika sang penjual mie mendekatinya.

Penjual mie segera memasakkan pesanan Aji. Bau sedap merasuki hidungnya ketika mie dimasak. Aji segera menyantap mie rebus pesanannya ketika penjual mie memberikannya.

"Lagi belajar, Dik?" tanya penjual mie.
"Ya, Bang. Besok ulangan matematika, nih."
"Emang sekolah dimana?"
"Di kolong jembatan. Nih dibawah sini nih," kata Aji sambil menunjuk bawah jembatan tempat mereka duduk.
"Kelas berapa?"
"Kelas lima. Emang sudah telat sih karena umur saya sekarang sudah 15 tahun, tapi biar aja deh. daripada nggak sekolah?"
"Oh...!!!"

Aji segera menyerahkan piring yang telah kosong isinya kepada penjual mie. Dia juga meminta segelas air putih dari penjual mie tersebut.
"Berapa, Bang?" tanya Aji sambil mengambil beberapa lembar uang kumal dari sakunya.
"Oh, nggak usah, Dik" kata penjual mie.
"Lho, kenapa? Jangan, Bang. Abang khan jual mie untuk cari nafkah buat anak dan istri Abang."
"Udah, nggak apa-apa. Abang nggak punya anak istri. Lagipula, abang seneng lihat anak yang punya semangat belajar kayak kamu. Alhamdulillah, dagangan Abang hari ini lagi laris. Tuh, lihat tuh. Abis khan nasi dan mie Abang."
"Ah, Abang. Baik amat sih."
"Ya, sudah. Kamu pulang sana. Sudah jam 11 malam nih. Besok jangan sampai terlambat ke sekolah, ya."
"Baik, Bang. Terima kasih banyak," kata Aji sambil mencium tangan penjual mie. Penjual mie sedikit tertegun tatkala Aji mencium tangannya.
" Omong-omong, nama kamu siapa?"
"Aji, Bang."
“Orang tua kamu dimana? Pasti mereka seneng punya anak kayak kamu”
“Bapak saya sudah meninggal, Bang, waktu kebakaran di gubuk. Kebakarannya khan malem, Bang. Bapak lagi tidur waktu itu. Untung saya dan ibu lagi cari barang di pasar malem, jadi nggak ikut jadi korban. Cuma sekarang ibu tinggal di kampung di Bantul, jagain nenek yang kejatuhan atap rumah waktu gempa. Lagian, ibu nggak tahan dirazia dan digusur-gusur terus”
"Oh..."
“Assalamu’alaikum, Bang.”
“Wa’alaikum salam.”

Aji segera berjalan menuju gubugnya untuk beristirahat. Dia tidak melihat bahwa sang penjual mie memperhatikannya sampai hilang di kegelapan malam. Air mata menetes di pipi sang penjual mie. Terkenang kembali saat-saat terakhir ombak Tsunami menggulung keluarganya dan rumah makannya. Tidak ada lagi yang dimilikinya ketika seminggu kemudian dirinya tersadar di sebuah posko pengobatan.
"Astagfirullah. Aku tidak boleh menangisi anak dan istriku yang sudah meninggal. Biarlah mereka tenang di alam sana. Astagfirullah, astagfirullah…" kata penjual mie sambil menyeka air matanya.

Sang penjual mie lalu mendorong gerobagnya. Perlahan, didendangkannya lagu Aceh yang sering dinyanyikan almarhum anaknya dan istrinya.

Na bungong Seulanga Keumang saboh bak tangke...

(Ada setangkai bunga Seulanga yang sedang mekar)
...

Rabu, 13 Agustus 2008

Senangnya Belajar Matematika


"Huh, malas ah belajar...susah!!!" begitu keluh Budi setiap kali belajar matematika.


Bapak dan ibunya sudah kebingungan untuk mengajarkan matematika pada Budi. Bu Guru yang dipanggil ke rumah untuk memberi les matematika pun sudah menyerah untuk membujuk Budi agar giat belajar matematika.

"Sabar saja, Bu. Mungkin karena baru awal kelas 1, jadi Budi masih perlu waktu untuk belajar matematika," kata Bu Guru kepada orang tua Budi.


Liburan semeter ganjil tiba. Budi senang bukan kepalang karena tidak harus belajar. Dari pagi sampai sore dia bermain terus dengan teman-teman di lingkungan rumahnya.


Suatu hari, Budi bermain petak umpet dengan teman-temannya. pada giliran pertama, si Anto yang jaga. Anto berhitung sampai 30 dengan keras saat teman-temannya mencari tempat untuk bersembunyi.


Selanjutnya giliran Budi jaga.

"Ayo, Budi, hitung sampai 30 yang keras seperti Anto, ya," kata teman-temannya.

Budi diam saja. Dia malu mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menghitung sampai 30. Budi hanya menutup matanya.

"Budi curang, tidak mau berhitung sampai 30. Ayo cepat hitung yang keras" kata teman-temanya.

Tapi Budi hanya menutup matanya. Dia sangat malu. Dan akhirnya Budi menangis.


Budi akhirnya berlari pulang. dia tidak mau teman-temannya tahu kalau dia tidak bisa berhitung.

"Hik...hik..." tangisnya ketika sampai di rumah.

"Kenapa, Budi? Kenapa kamu menangis? Berantem, ya?" tanya ibunya.

Tangis Budi makin keras. Baru setelah dipeluk ibunya, tangis Budi agak berhenti.


"Kenapa, Budi?" tanya ibunya dengan lembut.

"hik...Bu, aku mau belajar matematika lagi," kata Budi.

"Lho...memangnya kenapa. Ibu senang kamu mau belajar matematika lagi, tapi ceritakan dulu kenapa kamu menangis," bujuk ibu sambil tersenyum.

"Aku malu karena tidak bisa berhitung sampai 30 waktu jaga petak umpet."

"Oh..." kata ibunya sambil mengangguk-angguk.


Sejak itu, Budi rajin belajar, terutama matematika. Bapak dan ibunya sangat senang.


Satu bulan kemudian adalah hari ulang tahun Budi. Bapak dan ibunya merayakannya dengan mengadakan pesta di rumah. Semua teman-teman Budi di rumah diundang. Rumah Budi ramai sekali.


Setelah selesai makan dilanjutkan dengan acara bermain.

"Ayo, mau main apa, Budi?" tanya bapaknya.

"Petak umpet. Aku yang jaga," jawab Budi dengan cepat.

Budi segera menempelkan kepalanya ke dinding dan menutup matanya. Dengan keras dia mulai berhitung.

" Satu, dua, tiga....tiga puluh, tiga puluh satu, tiga puluh dua....seratus."


Budi membuka matanya dan tersenyum kepada bapak dan ibunya. Dia lalu mencari teman-temannya yang bersembunyi.



Jumat, 08 Agustus 2008

Cita-cita Nilo




Siang hari itu terasa panas sekali. Matahari bersinar sangat terik. Debu jalanan yang berterbangan ditiup angin menambah suasana menjadi semakin panas.




"Ouhhh...panasnya. Berendam lagi, ah," kata Nilo, si kuda nil.
Sejak pagi si Nilo hanya berendam saja di kolam. Dia bolos sekolah. Baju sekolah dan tas sekolahnya dibiarkan tergeletak di pinggir kolam.

Di sekolah, Bu Guru mencari Nilo. Bu Guru Kuda menanyakan kepada teman-teman Nilo perihal Nilo, tapi teman-teman sekelas tidak ada yang tahu kemana perginya Nilo. Akhirnya Bu Guru meminta bantuan Pak Satpam Beruang untuk mencari Nilo.

Setelah mencari kesana kemari, Pak Satpam Beruang akhirnya menemukan si Nilo.
"Nilo, ayo masuk sekolah. Bu Guru mencari kamu," kata Pak Satpam Beruang.
"Nggak mau, aku mau berendam aja," kata Nilo.

Karena tidak berhasil membujuk Nilo, akhirnya Pak Satpam kembali ke sekolah dan melaporkannya kepada Bu Guru.

Setelah mendapat laporan, Bu Guru Kuda minta diantar Pak Satpam Beruang ke kolam tempat Nilo berendam. Ketika sampai di kolam, Bu Guru melihat Nilo sedang berendam dengan mata tertutup.

"Nilo," kata Bu Guru pelan untuk membangunkan Nilo.

"Eh, Bu Guru. Maaf Bu Guru aku bolos sekolah karena badanku kepanasan," kata Nilo.

"lho, khan kamu sudah berendam di rumah tadi malam," kata Bu Guru.

"Belum. Soalnya sumur di rumahku sudah kering, sehingga aku tidak dapat berendam di kamar mandi. kenapa sih sumur di rumahku kering, Bu Guru?" tanya Nilo.

"Oh...memang sekarang musim kemarau Nilo, jadi tidak ada hujan yang dapat menambah air tanah. Akibatnya sumur-sumur jadi kering," kata Bu Guru.

"Tapi waktu aku masih kecil sumurku nggak pernah kering, Bu Guru. Kenapa sekarang jadi kering kalau musim kemarau?" tanya Nilo.

"Itulah akibat penebangan hutan disini, Nilo. Kamu pasti masih ingat betapa lebatnya hutan kita ini beberapa tahun lalu."

"Memangnya siapa yang menebang hutan kita, Bu Guru?"

"Para penjahat. Tapi sekarang mereka sudah ditangkap polisi," kata Bu Guru.

"Huh...gara-gara penjahat itu, aku jadi susah berendam. Aku mau jadi polisi biar bisa menangkap para penjahat itu," kata Nilo.

"Wah, cita-cita yang hebat Nilo. Tapi kamu harus rajin sekolah dulu agar menjadi polisi yang hebat."

"Siap, Bu Guru," kata Nilo dengan penuh semangat.



Akhirnya Nilo mau bersekolah kembali. Karena dia tahu, untuk menjadi polisi yang hebat harus rajin belajar.






Kamis, 07 Agustus 2008


Allah SWT berfirman pada hari kiamat kepada anak-anak: "Masuklah kalian ke dalam surga!" Anak-anak itu berkata: "Ya Rabbi (kami menunggu) hingga ayah ibu kami masuk."

Lalu mereka mendekati pintu syurga! tapi tidak mau masuk ke dalamnya.

Allah berfirman lagi: "Mengapa, Aku lihat mereka enggan masuk? Masuklah kalian kedalam surga!"

Mereka menjawab: "Tetapi (bagaimana) orang tua kami?"

Allah pun berfirman: "Masuklah kalian ke dalam syurga bersama orang tua kalian."

(Hadits Qudsi Riwayat Ahmad dari Syurahbil bin Syua'ah yang bersumber dari sahabat Nabi SAW)

On Children

Khahlil Gibran


Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah putra putri dari kehidupan yang merindukan dirinya sendiri. Mereka datang melaluimu tetapi bukan darimu,Dan walaupun mereka tinggal bersamamu, mereka bukanlah milikmu.

Kau dapat memberikan kasih-sayangmu tetapi tidak pikiranmu, karena mereka mempunyai pemikiran sendiri.
Kau dapat memberikan tempat untuk raga tetapi tidak untuk jiwa mereka, karena jiwa mereka menghuni rumah masa depan, yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tak juga dalam mimpi-mimpimu.
Kau dapat berupaya keras untuk menjadi seperti mereka, tetapi jangan mencoba membuat mereka sepertimu, karena kehidupan tidak berjalan ke belakang juga tak tinggal di masa lalu.

Kau adalah busur dari mana anak-anakmu melesat ke depan sebagai anak panah hidup…Sang pemanah melihat sasaran di atas jalur di tengah keabadian, dan DIA meliukkanmu dengan kekuatanNYA sehingga anak panahNYA dapat melesat dengan cepat dan jauh. Biarkanlah liukkanmu di tangan sang pemanah menjadi keceriaan; Bahkan DIA pun mengasihi anak panah yang terbang, demikian juga DIA mengasihi busur yang mantap.

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS 31:18)

Jumat, 01 Agustus 2008

Bimbi


Bimbi adalah seekor anak beruang yang sombong. Dia selalu mengakui bahwa dirinyalah yang paling kuat dan paling hebat. "Akulah anak terhebat di sekolah," begitu selalu akunya.



Suatu hari Bimbi bolos sekolah. Dia pergi ke dalam hutan di atas gunung seorang diri. Sesampai di hutang dia membuka bekalnya. "Hmmm...enaknya kue buatan ibu..."



Setelah menghabiskan bekalnya, Bimbi pun mengantuk. 'Ouh..." Dan Bimbi pun tertidur.


Bimbi tertidur sangat pulas, sehingga dia tidak menyadari bahwa hari sudah mulai gelap.


Betapa kagetnya dia ketika menyadari hari sudah gelap tatkala dia terbangun.

'Hah...dimana aku? Gelap sekali. Pasti aku sedang bermimpi," kata Bimbi sambil mengusap-usap matanya. Bimbi menangis ketika menyadari bahwa dirinya tidak bermimpi. Dia kebingungan mencari arah pulang.




Beruntunglah, si Kunti kunang-kunang melihatnya.

"Kamu kenapa, Bimbi? Kenapa kamu ada disini malam-malam?" tanya Kunti.

"Hu...aku tidak bisa pulang. Ibu aku takut...!!!" rengek Bimbi.

"Sudah jangan menangis. Ayo aku antar pulang." kata Kunti.

"Memang kamu arah ke rumahku?" tanya Bimbi.

"Tenang saja Bimbi. Aku khan kunang-kunang. sayapku mengeluarkan sinar sehingga bisa membantuku dan kamu menuju ke rumahmu. Ayo ikuti aku."



Dengan sinar yang keluar dari sayapnya, dengan mudah Si Kunti terbang mencari arah pulang ke rumah Bimbi. Bimbi pun mudah mengikuti si Kunti terbang.

"Sinar di sayapmu indah sekali, Kunti. Aku jadi iri," kata Bimbi sambil mengikuti si Kunti.

"Bimbi, setiap makhluk Tuhan pasti punya kelebihan. Kita tidak boleh iri satu sama lain. Kita juga tidak boleh sombong akan kelebihan kita," kata Kunti.

"Iya, ya, Kunti. Aku jadi malu karena selama ini sudah menyombongkan kekuatanku. Ternyata kesombonganku tidak ada gunanya, ya," sesal Bimbi.

"Ya sudah, Bimbi. Yang penting kamu sudah menyesali perbuatanmu dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Hei...sudah sampai di rumahmu," kata Kunti.

"Hore...aku sampai di rumah. Terima kasih, Kunti. Ayo masuk ke rumahku. Aku mau memberimu kue karena sudah menolongku. Selain itu, kamu juga sudah menyadarkanku agar aku tidak sombong lagi. Ibuku pasti suka padamu."

"Baiklah," kata Kunti sambil tersenyum.




Malam itu menjadi malam yang sangat berkesan bagi Bimbi walaupun harus menjalani hukuman seminggu tanpa uang saku.


Kamis, 31 Juli 2008

Si Monyet yang Kapok


Si Monyet sedang bermain petak umpet dengan teman-temannya. Saat itu si Kucing yang jaga.




"Sudah belum?" tanya si kucing sambil menutup matanya.


"Belum...!!!" balas teman-temannya sambil mencari tempat persembunyian.




Si Monyet melihat ke kiri dan kanan mencari tempat persembunyian. Ketika itu dilihatnya sebuah mobil jemputan sekolah diparkir di halaman sekolah. Pintu mobil terbuka dan sang supir tertidur di kursi depan.




Tanpa pikir panjang, si Monyet segera masuk dan bersembunyi di dalam mobil jemputan. dia bersembunyi di bawah kursi. "Ha...ha...ha...pasti tidak ada yang bisa menemukanku di sini," kata si Monyet sambil tertawa.




Si Monyet terus bersembunyi di bawah kursi mobil tersebut. Dia tidak mengetahui bahwa sang supir keluar mobil dan mengunci semua mobil karena akan pergi ke kamar mandi.




Lama-lama si Monyet merasa kepanasan di dalam mobil. Keringatnya bercucuran. Dia lalu mencoba keluar dari dalam mobil. Dia mencoba membuka pintu mobil tapi tidak berhasil karena pintu dikunci oleh pak supir. Dia mencoba berteriak tapi tidak ada yang mendengar.




Si Monyet akhirnya pingsan di dalam mobil. Beruntung, sang supir sudah kembali dari kamar mandi. Saat membuka pintu mobil, si supir melihat si Monyet yang pingsan. Si supir mengangkat tubuh monyet dan dibawa ke pusat kesehatan sekolah.




Setelah diberi minyak angin di seluruh badan dan di hidungnya serta dikompres, si Monyet tersadar kembali. "Uh...dimana aku?" tanya si Monyet sambil mengkedip-kedipkan matanya.


"Kamu di sekolah, Monyet," jawab Bu Guru." Kamu tadi pingsan di mobil dan dibawa pak supir kesini."




"Kamu tadi bersembunyi di dalam mobil, ya?" tanya Bu Guru.


"Iya, Bu," jawab Monyet.


"Lain kali jangan bersembunyi di dalam mobil, ya, Sayang."


"Kenapa Bu Guru?" tanya Monyet.


"Mobil, lemari dan tempat-tempat lain yang bisa terkunci adalah tempat yang terlarang untuk bersembunyi. Kalau sedang bersembunyi lalu mobil atau lemarinya terkunci khan nanti nggak bisa keluar."




Monyet hanya diam mendengar penjelasan Bu Guru. Tapi di dalam hatinya dia berjanji tidak akan bersembunyi di dalam mobil dan lemari. Dia sudah kapok.

Cici, Si Anak yang Pintar


Cici sedang sedih pagi itu. Hari itu adalah hari libur sekolah. Teman-temannya semuanya pergi piknik dengan keluarga masing-masing. Tapi dia tidak bisa kemana-mana karena bapaknya sedang mengikuti rapat pengurus RT di lingkungannya.


"Bu, aku bosan di rumah. Teman-temanku pergi semua. Ayo kita pergi juga dong, Bu," rengek Cici kepada ibunya.

"Sabar, Cici, ibu khan sudah bilang kalau kita harus menunggu bapak pulang dari rapat RT," kata ibunya.

"Uh, bapak. Bapak yang lain aja pergi jalan-jalan, masak bapak Cici aja yang rapat."

"Sabar, Cici. Sebentar lagi juga bapak pulang. Bapak khan pengurus RT, jadi harus rapat dulu. Main dulu aja sama adik," bujuk ibu.


Tak lama kemudian bapak pulang. Cici yang sedang bermain bersama adiknya segera berlari menyambut bapaknya.

"Hore...bapak pulang. Ayo, Pak, kita jalan-jalan," seru Cici.

"Baiklah, Cici. ayo kita jalan-jalan. Tapi kita berjalan kaki saja ya."

'Ya, Bapak. Teman-teman Cici pergi piknik semua, Pak. Ada yang ke pantai, ada yang ke pegunungan. Masak Cici cuma jalan kaki disekitar sini."

"Cici, Jalan-jalan disekitar rumah juga menyenangkan. Bapak mau perlihatkan sesuatu yang belum pernah Cici lihat. Nanti Cici pasti senang. Percayalah"


Akhirnya Cici mau berjalan kaki di sekitar rumahnya. Dengan mengenakan topi, kaos putih dan celana olah raga merah, Cici berjalan kaki bersama bapaknya.


Bapaknya mengajak berjalan ke arah pepohonan yang rindang di depan komplek perumahan Cici.

"Cici lihat. Di atas pohon ada rumput kering yang ditumpuk-tumpuk."

"Mana, Pak? Mana?"

"Itu, disebelah kiri."

"Oh, iya, Pak. Aku lihat. Kok ada tumpukan rumput kering di atas pohon ya, Pak?"

"Cici, itu sarang burung. Ibu dan bapak burung yang menumpuk dan menganyam rumput kering tersebut untuk mengerami telur. Lihat, ada burung di dalam sangkar. Itu pasti ibu burung yang sedang mengerami telurnya. Minggu depan kita kesini lagi. Kita lihat apakah sang anak burung sudah menetas dari telurnya."

"Oh....jadi burung itu keluar dari telur ya, Pak?"

'Iya, Cici. Burung berkembang biak dengan cara bertelur. Demikian juga ayam. Kamu khan suka telur ayam yang didadar."

"Iya, Pak. Aduh jadi lapar nih kalau inget telur dadar."

"Baiklah, kita beli makanan dan minuman di warung Bu Siti. Ayo kita kesana. Ada lagi yang ingin bapak perlihatkan kepada kamu."


Sambil berjalan menuju warung Bu Siti, bapak berhenti sebentar di depan sebuah selokan yang sangat bau. Banyak lalat dan nyamuk disekitar selokan itu.


"Bapak, kenapa berhenti disini? Khan bau," keluh Cici.

"Cici, bapak ingin memperlihatkan sesuatu kepada kamu. Lihat. Kalau burung membuat sarang di atas pohon, nyamuk membuat sarangnya di dalam air yang tergenang. Sedangkan lalat membuat sarangnya di sampah."

"Ih, jorok ya, Pak?"

"Iya, makanya jangan suka membuang sampah sembarangan, apalagi ke dalam selokan. Kalau selokan mampat karena banyak sampah, maka akan menjadi sarang nyamuk dan sarang lalat. Jadi banyak nyamuk dan lalat deh di situ."

"Ihh...aku nggak mau dekat-dekat dengan lalat dan nyamuk...jorokkk!!!"

"Iya, selain jorok juga banyak penyakitnya. Makanya jangan suka buang sampah sembarangan, ya"

"Iya, Pak. Aku akan selalu buang sampah di tempat sampah. Biar nggak banyak lalat dan nyamuk"

"Pintar kamu. Ayo sekarang kita ke warung Bu Siti. Kamu boleh pesan makanan dan minuman apa saja karena warung Bu Siti khan bersih dan murah."

"Asyikk..."


Hari itu Cici kembali riang.

Rabu, 04 Juni 2008

Blog Dunia Anak Indonesia

Blog Dunia Anak ini berawal dari kegalauan akan semakin merajalelanya siaran-siaran TV yang kurang pantas ditonton anak, dan disisi lain semakin rendahnya akses anak ke buku dan bacaan yang bermutu, maka saya mencoba mewujudkan idealisme dan mimpi adanya bacaan gratis bagi anak Indonesia.
Apabila sudah ada buku gratis melalui e-book yang disediakan pemerintah (walaupun belum terlaksanan dengan baik sampai saat ini), maka seharusnya bacaan gratis bagi seluruh anak Indonesia seharusnya sudah dapat diwujudkan untuk mengimbangi TV dan bahan bacaan yang mahal.
Semoga bacaan gratis bagi seluruh anak Indonesia dapat terwujud. Insya Allah.
DONGENG/CERITA GRATIS UNTUK ANAK INDONESIA
DIPERSILAKAN MENGAMBIL SEBAGIAN ATAU SELURUH IDE/ISI CERITA UNTUK KEPENTINGAN SOSIAL/NON KOMERSIAL