Selasa, 19 Agustus 2008

AJI



"Penuh sudah," kata Aji sambil menaruh botol plastik bekas terakhirnya ke dalam karung. Aji tersenyum sambil menyeka keringat di wajahnya. Keringat membasahi tubuhnya. Bergegas dia berbalik arah dan berjalan ke gubuknya.

Karung kumal tampak seperti menenggelamkan tubuhnya yang kecil. Walaupun demikian, langkah Aji tetap sigap sambil memanggul karung tersebut. Sesekali dia harus melompat atau menunduk bila ada portal yang menutup jalan. Perjalanan pulang selama sekitar 1 jam dilakukannya sambil menyanyikan lagu-lagu KLA Project. Dia hampir hapal semua lagu grup band kesayangannya tersebut. Lagu yang paling digemarinya adalah Yogyakarta karena mengingatkan akan kampung halamannya di Bantul.

“Sudah pulang, Ji? Cepat kali” tanya Pak Ucok yang menjadi pengepul barang para pemulung ketika Aji sampai di perkampunan pemulung.
“Sudah, Pak. Dari subuh, sih. Mau belajar ntar malam buat ulangan besok” jawab Aji sambil menyerahkan karungnya.
“Aku hitung dulu, ya. Hmm….Lumayan juga, Ji. Ada 34 gelas, 12 botol kecil, dan 16 botol besar. Jadi semuanya….hmm…23.000 rupiah. Aku tambah jadi 25.000 deh. Nih uangnya. Simpan baik-baik, jangan buat beli rokok, ya, Dhi ”
“Terima kasih, Pak. Saya pulang dulu, ya, Pak. Terima kasih, Pak”
“Ya, sama-sama” jawab Pak Ucok sambil tersenyum menatap tubuh Aji yang kecil tersebut.

Aji meletakkan karungnya yang sudah kosong di depan gubuknya. Dia tersenyum saat menatap jam beker yang terletak di lantai kardus. Jam menunjukkan pukul 4 sore, berarti dia sudah 11 jam berjalan berkeliling. Hasil kerja hari ini cukup untuk makan sampai besok sore. Bahkan, bila dia berhemat dia bisa menabung untuk membelikan oleh-oleh buat ibunya.

Hari itu Aji tidak masuk sekolah. Dia sengaja berkeliling dari subuh. Baginya, lebih baik mengumpulkan botol plastik dari subuh tapi pulang sore agar dapat tidur siang sebentar.
"Setelah tidur, pasti tubuhku sudah segar nanti malam sehingga dapat belajar untuk ulangan matematika besok pagi," katanya di dalam hatinya.

Setelah melepas pakaian pemulungnya, diapun menuju sumur untuk menimba air. Diisinya embernya dengan air dari dalam timba. Dibawanya ember berisi air ke dalam kamar mandi umum yang dibangun para pemulung. Dia mencuci bajunya dan mandi.

Selesai mandi, Aji berwudu untuk sholat Ashar di gubuk. Selesai sholat, Aji merebahkan badannya di tumpukan kardus dalam gubugnya.
"Uh, enaknya....," kata Aji sambil meregangkan badan. Dinyalakannya walkman kecil. Mengalunlah lagu-lagu KLA Project. Diambilnya foto bergambar orang tuanya. Dilihatnya foto tersebut. Dilihatnya wajah ibunya sambil tersenyum. Dia sangat senang membayangkan dirinya kan bertemu dengan orang yang sangat dicintainya tersebut 5 bulan lagi saat lebaran tiba. Tak terasa dia pun tertidur pulas dalam buaian mimpi indahnya.

Kumandang adzan Maghrib dari mushola membangunkan Aji. Dia duduk sebentar sambil mengusap matanya. Perlahan dituangnya air dari termos ke dalam gelas plastiknya. Setelah berdoa berbuka puasa, diminumnya segelas air putih tersebut. Bergegas dia mengambil sarungnya dan pergi ke mushola untuk sholat Maghrib.

"Assalamu'alaikum, Pak Ustad," kata Aji sambil mencium tangan Pak Ustad sesampainya di mushola.
"Wa'alaikum salam, Aji. Kemana kamu tadi kok tidak masuk sekolah?" tanya Pak Ustad.
"Oh, saya cari barang dari subuh, Pak Ustad. Tapi besok saya pasti masuk. Khan besok ulangan matematika, Pak Ustad."
"Ya, ya, syukur, dah," kata Pak Ustad sambil mengangguk-angguk.

Usai sholat Maghrib, Aji kembali ke gubuknya. Diambilnya buku-buku matematika dan alat tulisnya. Lalu, dia menuju ke jembatan di atas perkampungan pemulung. Dia duduk di bawah lampu di ujung jembatan. Inilah tempat favoritnya untuk belajar. Tempatnya terang dan sejuk. Dia betah berlama-lama belajar disitu.

Sekitar 4 jam Aji mengutak-atik pelajaran matematika yang dipelajarinya di sekolah. Tidak dihiraukannya gigitan nyamuk rawa di sekujur tubuhnya. Tak dihiraukannya pula suara berisik dari warung Bu Citra yang penuh dengan suara orang tertawa dengan kerasnya. Sesekali, disapanya tetangga kampung pemulung yang lewat di depannya.

Aji harus berhati-hati membaca soal dalam buku-bukunya yang sudah kumal. Tulisan dalam buku-bukunya sudah kurang jelas. Buku-buku tersebut adalah buku bekas yang dibeli dari teman pemulung lainnya. Seluruh soal di buku cetak pertama sudah dikerjakannya. Ditelitinya lagi jawabannya. Setelah yakin akan jawabannya, Aji membuka buku yang lain. Dilakukannya hal yang sama pada buku tersebut.

Tak terasa malam sudah semakin larut. Aji menghentikan belajarnya ketika seorang tukang mie lewat. Bunyi kentongan penjual mie menggugah perutnya yang belum diisi dari subuh tadi.
"Bang, mie, Bang!" panggil Aji.
"Mie rebus ya, Bang. Tidak pedas," lanjutnya ketika sang penjual mie mendekatinya.

Penjual mie segera memasakkan pesanan Aji. Bau sedap merasuki hidungnya ketika mie dimasak. Aji segera menyantap mie rebus pesanannya ketika penjual mie memberikannya.

"Lagi belajar, Dik?" tanya penjual mie.
"Ya, Bang. Besok ulangan matematika, nih."
"Emang sekolah dimana?"
"Di kolong jembatan. Nih dibawah sini nih," kata Aji sambil menunjuk bawah jembatan tempat mereka duduk.
"Kelas berapa?"
"Kelas lima. Emang sudah telat sih karena umur saya sekarang sudah 15 tahun, tapi biar aja deh. daripada nggak sekolah?"
"Oh...!!!"

Aji segera menyerahkan piring yang telah kosong isinya kepada penjual mie. Dia juga meminta segelas air putih dari penjual mie tersebut.
"Berapa, Bang?" tanya Aji sambil mengambil beberapa lembar uang kumal dari sakunya.
"Oh, nggak usah, Dik" kata penjual mie.
"Lho, kenapa? Jangan, Bang. Abang khan jual mie untuk cari nafkah buat anak dan istri Abang."
"Udah, nggak apa-apa. Abang nggak punya anak istri. Lagipula, abang seneng lihat anak yang punya semangat belajar kayak kamu. Alhamdulillah, dagangan Abang hari ini lagi laris. Tuh, lihat tuh. Abis khan nasi dan mie Abang."
"Ah, Abang. Baik amat sih."
"Ya, sudah. Kamu pulang sana. Sudah jam 11 malam nih. Besok jangan sampai terlambat ke sekolah, ya."
"Baik, Bang. Terima kasih banyak," kata Aji sambil mencium tangan penjual mie. Penjual mie sedikit tertegun tatkala Aji mencium tangannya.
" Omong-omong, nama kamu siapa?"
"Aji, Bang."
“Orang tua kamu dimana? Pasti mereka seneng punya anak kayak kamu”
“Bapak saya sudah meninggal, Bang, waktu kebakaran di gubuk. Kebakarannya khan malem, Bang. Bapak lagi tidur waktu itu. Untung saya dan ibu lagi cari barang di pasar malem, jadi nggak ikut jadi korban. Cuma sekarang ibu tinggal di kampung di Bantul, jagain nenek yang kejatuhan atap rumah waktu gempa. Lagian, ibu nggak tahan dirazia dan digusur-gusur terus”
"Oh..."
“Assalamu’alaikum, Bang.”
“Wa’alaikum salam.”

Aji segera berjalan menuju gubugnya untuk beristirahat. Dia tidak melihat bahwa sang penjual mie memperhatikannya sampai hilang di kegelapan malam. Air mata menetes di pipi sang penjual mie. Terkenang kembali saat-saat terakhir ombak Tsunami menggulung keluarganya dan rumah makannya. Tidak ada lagi yang dimilikinya ketika seminggu kemudian dirinya tersadar di sebuah posko pengobatan.
"Astagfirullah. Aku tidak boleh menangisi anak dan istriku yang sudah meninggal. Biarlah mereka tenang di alam sana. Astagfirullah, astagfirullah…" kata penjual mie sambil menyeka air matanya.

Sang penjual mie lalu mendorong gerobagnya. Perlahan, didendangkannya lagu Aceh yang sering dinyanyikan almarhum anaknya dan istrinya.

Na bungong Seulanga Keumang saboh bak tangke...

(Ada setangkai bunga Seulanga yang sedang mekar)
...
DONGENG/CERITA GRATIS UNTUK ANAK INDONESIA
DIPERSILAKAN MENGAMBIL SEBAGIAN ATAU SELURUH IDE/ISI CERITA UNTUK KEPENTINGAN SOSIAL/NON KOMERSIAL