Jumat, 22 Agustus 2008

SURAT UNTUK AJI


"Ji, Ji...kesini!" panggil Pak Ustad dari kejauhan ketika melihat Aji pulang.

"Ya, Pak Ustad," jawab Aji sambil berlari menuju Pak Ustad.

"Ini ada surat buat kamu dari ibumu. Tadi dititipkan ke Mbok Siti yang baru pulang kampung."

"Alhamdulillah. Terima kasih, Pak Ustad. Assalamu'alaikum," kata Aji sambil mencium tangan Pak Ustad.


Aji segera menuju ke gubugnya. Setelah mencuci kaki dan tangannya, dia pun membuka amplop. Didalamnya terdapat selembar kertas sobekan buku tulis. Terdapat tulisan yang sangat dikenalnya.


Bantul, 17 Agustus 2008


Buat Aji Anakku Tercinta,


Assalamualaikum, Nak. Kamu baik-baik aja khan? Ibu dan Eyang Putri juga baik-baik aja disini.

Eyang Putri sudah bisa jalan sendiri walaupun masih pelan. Lumayan, sudah bisa mengurus diri sendiri. Hanya tangan kirinya yang masih belum bisa dipakai memegang. Luka di kepala juga sudah sembuh. Syukurlah, nenek hanya kejatuhan genting.


Sekarang kampung sini ramai lho, Ji. Semuanya senang tinggal di rumah bantuan pemerintah. Rumahnya bentuknya seperti batok kelapa. Katanya biar nggak rubuh lagi kalau ada gempa.


Tujuhbelasan disana bagaimana? Di sini ramai sekali. Ibu menang lomba masak nasi goreng lho, Ji. Lha wong tinggal masak karena bumbunya disediakan oleh panitia. Hadiahnya ceret. Bagus sekali. Eyang seneng nonton lomba, sampai-sampai pengennya nonton semua lomba. Tapi ibu nggak kasih, soalnya panas banget kalau siang. Paling sore-sore baru ibu antar sebentar ke lapangan.


Setelah eyang bisa ditinggal, ibu sekarang bantu cuci baju di rumah Bu Arto. Kamu inget khan Bu Arto. Itu lho yang bapaknya jadi guru STM. Sekarang udah pensiun. Pak Arto juga tinggal di sini. Beliau lebih betah tinggal di kampung katanya daripada harus ikut anak-anaknya ke kota besar. Padahal anak-anaknya sampai nangis-nangis waktu mengajak Ibu dan Pak Arto untuk pindah. Takut kali ya kalau gempa lagi. Bu Arto dan keluarganya baik sama ibu dan eyang. Selain digaji, ibu juga diberi beras 10 kg tiap bulan. Eyang juga sering dibelikan obat kalau sakit. Pokoknya baik deh Bu Arto dan keluarganya.


Kamu lebaran jadi pulang, Ji? Kalau belum punya uang nggak usah pulang dulu, ya. Ditabung dulu. Tahun depan kalau kamu sudah lulus SD baru pulang ke Bantul. Tabungannya buat masuk SMP dan modal jual koran.


Ya udah. Ibu bikin surat mumpung Mbok Siti pulang dan mampir ke rumah.


Baik-baik ya, Nak. Ingat sholat, baca Qur'an, baca doa dan rajin belajar. Ibu dan Eyang selalu mendoakanmu.


Wassalamu'alaikum,

Ibu


Mata Aji memerah. Air mata memenuhi pelupuk matanya. Hidungnya penuh berair. Kepalanya tertunduk.


Diambilnya foto orang tuanya. Dipandangnya wajah mereka. Wajah orang yang selalu dicintainya. Wajah orang yang selalu menyayanginya. Merekalah yang selalu diingatnya ketika segala macam rintangan menghadangnya. Bayangan merekalah yang menghangatkan tubuhnya ketika hujan menerpa tubuhnya. Bayangan merekalah yang memeluknya ketika segala macam penyakit menghantam tubuhnya. Bayangan merekalah yang mengobati luka-lukanya di sekujur tubuhnya ketika dirinya tertabrak ojek.


Aji tersenyum. Dibiarkannya air matanya membasahi pipinya. Doa dan kasih sayang orangtua dan Eyangnya akan selalu menemani hatinya. Semangat juang mereka akan selalu menegakkan dada dan kepalanya. Selalu...

Kamis, 21 Agustus 2008

Bimbi Ikut Lomba Tujuhbelasan


Bimbi beruang memegang sendok dengan erat-erat. Bapak berdiri 10 meter di depannya.
"Ya, sekarang maju perlahan-lahan," kata bapaknya.

Bimbi pun maju perlahan. Dilihatnya kelerang di pensilnya bergoyang-goyang. Dia pun menghentikan langkahnya.

"Jangan berhenti. Ayo maju perlahan dulu. Yang penting tangannya dijaga agar tidak naik turun," seru bapaknya.

Bimbi akhirnya melangkah lagi. Dia mempercepat langkahnya. Dan...kelerengnya pun jatuh ke lantai.

"Huuh...," seru Bimbi sambil membanting sendoknya.

"Hei, hei, hei...Jangan marah-marah dong, Bimbi. Kalau marah-marah nanti nggak bisa-bisa. Ayo berlatih lagi," seru bapaknya.

Pagi itu sekitar 1 jam Bimbi berlatih membawa kelereng dalam sendok. Dia ingin sekali memenangkan lomba kelereng sore nanti. Sebenarnya banyak lomba yang lain. Sebelum lomba kelereng, sore nanti ada lomba makan kerupuk dan menggambar. Bimbi sebenarnya malas ikut lomba yang lain, makanya dia tidak berlatih menggambar dan lomba makan kerupuk. Baginya, lomba menggambar itu membosankan, sedangkan lomba makan kerupuk membuat tenggorokannya sakit.

Setelah mengikuti lomba makan kerupuk dan menggambar, tibalah saat yang sangat ditunggu Bimbi yaitu lomba kelereng. Bimbi merasa yakin akan menang karena sudah berlatih tadi pagi. Dia juga sudah membawa sendok dan kelereng.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Bimbi dipanggil namanya untuk berlomba dengan Mike si meong, Gugi si anjing, dan Kiko si kuda.

"Satu, dua...tiga," seru Pak Monyet yang menjadi panitia. Bimbi pun segera melangkahkan kaki dengan cepat. Tangannya memegang sendok berisi kelereng dengan erat. Tanpa kesulitan Bimbi pun memenangkan babak pertama itu. Bimbi meloncat-loncat dengan gembira setelah mencapai garis akhir.

"Bimbi beruang, Gani gajah, Zeba zebra, dan Kiki kelinci," panggil Pak Monyet. Keempat anak yang dipanggil segera menuju ke garis awal/start.

"Karena ini babak final maka lombanya bolak-balik. Jadi setelah gars akhir, kalian harus kembali ke garis awal ini. Mengerti?"

"Mengerti!!!!!"

"Satu, dua...tiga."

Bimbi, Gani, Zeba dan Kiki segera melangkah sambil memegang sendok berisi kelereng mereka masing-masing. Bimbi dengan cepat mendahului lawan-lawannya. Setelah menyentuh garis akhir dia pun membalikkan badan untuk kembali ke garis awal. Pada saat membalikkan badan, Bimbi tidak melihat bahwa kelereng Gani yang terjatuh menggelinding ke arahnya. Ketika menginjak kelereng tersebut, Bimbi pun terjatuh.

"Aduh...yah, jatuh deh."

Bimbi hampir menangis. Dia hanya bisa memandang si Zeba dan Kiki berjalan menuju garis dan awal dan memenangi lomba tersebut. Bimbi tertunduk lesu. Didengarnya si Zeba dan Kiki bersorak-sorak merayakan kemenangan.

"Ayo, bangun Bimbi," kata bapaknya. Bimbi bangun dengan tetap tertunduk lesu. Dia segera pulang. Hatinya kesal bukan kepayang. Semalaman Bimbi diam saja. Saat belajar pun, Bimbi lebih banyak diam.

Keesokan harinya hati Bimbi masih kesal. Di sekolah dia tidak banyak bicara. Saat istirahat pun dia hanya duduk di dalam kelas.

Saat pulang sekolah tiba. Seperti biasa Bimbi dijemput naik sepeda oleh Mbaknya. Sepanjang perjalanan Bimbi juga diam saja. Ketika sampai di depan rumah, Bimbi pun masuk ke halaman dengan masih lesu.

Tiba-tiba matanya tertuju kepada sebuah sepeda mini berwarna biru di teras rumahnya. Sepeda itu terkunci di stangnya.

'Ah, itu khan sepeda mini yang aku minta ke bapak tapi belum dibelikan. Kok ada di teras rumah. Punya siapa ya?'

Bimbi segera masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah tidak ada siapa-siapa.
"Bu, Ibu? Ibu dimana?"
Bimbi mencari ke seluruh rumah tapi tidak menemukan ibunya. Tiba-tiba matanya tertuju ke sebuah kotak bersampul kado di atas meja belajarnya. Diambilnya kotak tersebut. terdapat tulisan "Buat Bimbi Tersayang' di atas kertas kadonya. Bimbi segera membuka kertas kado kotak tersebut. Ditemukannya sebuah amplop di dalamnya. Segera dibukanya amplop tersebut. Dibacanya surat yang ada di dalam amplop.


Bimbi, sayang.

Hari ini Bapak dan Ibu ada acara di kantor Bapak. kami akan pulang menjelang Maghrib. Kamu di rumah, ya. jangan nakal sama Mbak.

Oh, ya. Ini ada kunci. Ini adalah kunci sepeda mini yang ada di teras. Sepeda ini hadiah dari kantor Bapak. Dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke-63, kantor bapak memberikan hadiah buat anak pegawai yang nilainya rata-ratanya 8,5. Karena nilai kamu 8,6 maka kamu berhak mendapat sepeda mini. Selamat, ya, Sayang. Kamu boleh bermain-main sore ini. Tapi jangan ngebut, ya, Sayang.

Salam sayang,

Bapak dan Ibu


"Hore...!!!!" sorak Bimbi kegirangan. Bimbi mengepalkan tangannya tinggi-tinggi. Tidak sia-sia dia belajar tiap malam ditemani bapak dan ibunya. Tidak sia-sia dia selalu menuruti nasehat bapak dan ibunya untuk tidak sering menonton TV.

Dan dia pun berjanji akan semakin rajin belajar dan menuruti nasehat orang tuanya.





Selasa, 19 Agustus 2008

AJI



"Penuh sudah," kata Aji sambil menaruh botol plastik bekas terakhirnya ke dalam karung. Aji tersenyum sambil menyeka keringat di wajahnya. Keringat membasahi tubuhnya. Bergegas dia berbalik arah dan berjalan ke gubuknya.

Karung kumal tampak seperti menenggelamkan tubuhnya yang kecil. Walaupun demikian, langkah Aji tetap sigap sambil memanggul karung tersebut. Sesekali dia harus melompat atau menunduk bila ada portal yang menutup jalan. Perjalanan pulang selama sekitar 1 jam dilakukannya sambil menyanyikan lagu-lagu KLA Project. Dia hampir hapal semua lagu grup band kesayangannya tersebut. Lagu yang paling digemarinya adalah Yogyakarta karena mengingatkan akan kampung halamannya di Bantul.

“Sudah pulang, Ji? Cepat kali” tanya Pak Ucok yang menjadi pengepul barang para pemulung ketika Aji sampai di perkampunan pemulung.
“Sudah, Pak. Dari subuh, sih. Mau belajar ntar malam buat ulangan besok” jawab Aji sambil menyerahkan karungnya.
“Aku hitung dulu, ya. Hmm….Lumayan juga, Ji. Ada 34 gelas, 12 botol kecil, dan 16 botol besar. Jadi semuanya….hmm…23.000 rupiah. Aku tambah jadi 25.000 deh. Nih uangnya. Simpan baik-baik, jangan buat beli rokok, ya, Dhi ”
“Terima kasih, Pak. Saya pulang dulu, ya, Pak. Terima kasih, Pak”
“Ya, sama-sama” jawab Pak Ucok sambil tersenyum menatap tubuh Aji yang kecil tersebut.

Aji meletakkan karungnya yang sudah kosong di depan gubuknya. Dia tersenyum saat menatap jam beker yang terletak di lantai kardus. Jam menunjukkan pukul 4 sore, berarti dia sudah 11 jam berjalan berkeliling. Hasil kerja hari ini cukup untuk makan sampai besok sore. Bahkan, bila dia berhemat dia bisa menabung untuk membelikan oleh-oleh buat ibunya.

Hari itu Aji tidak masuk sekolah. Dia sengaja berkeliling dari subuh. Baginya, lebih baik mengumpulkan botol plastik dari subuh tapi pulang sore agar dapat tidur siang sebentar.
"Setelah tidur, pasti tubuhku sudah segar nanti malam sehingga dapat belajar untuk ulangan matematika besok pagi," katanya di dalam hatinya.

Setelah melepas pakaian pemulungnya, diapun menuju sumur untuk menimba air. Diisinya embernya dengan air dari dalam timba. Dibawanya ember berisi air ke dalam kamar mandi umum yang dibangun para pemulung. Dia mencuci bajunya dan mandi.

Selesai mandi, Aji berwudu untuk sholat Ashar di gubuk. Selesai sholat, Aji merebahkan badannya di tumpukan kardus dalam gubugnya.
"Uh, enaknya....," kata Aji sambil meregangkan badan. Dinyalakannya walkman kecil. Mengalunlah lagu-lagu KLA Project. Diambilnya foto bergambar orang tuanya. Dilihatnya foto tersebut. Dilihatnya wajah ibunya sambil tersenyum. Dia sangat senang membayangkan dirinya kan bertemu dengan orang yang sangat dicintainya tersebut 5 bulan lagi saat lebaran tiba. Tak terasa dia pun tertidur pulas dalam buaian mimpi indahnya.

Kumandang adzan Maghrib dari mushola membangunkan Aji. Dia duduk sebentar sambil mengusap matanya. Perlahan dituangnya air dari termos ke dalam gelas plastiknya. Setelah berdoa berbuka puasa, diminumnya segelas air putih tersebut. Bergegas dia mengambil sarungnya dan pergi ke mushola untuk sholat Maghrib.

"Assalamu'alaikum, Pak Ustad," kata Aji sambil mencium tangan Pak Ustad sesampainya di mushola.
"Wa'alaikum salam, Aji. Kemana kamu tadi kok tidak masuk sekolah?" tanya Pak Ustad.
"Oh, saya cari barang dari subuh, Pak Ustad. Tapi besok saya pasti masuk. Khan besok ulangan matematika, Pak Ustad."
"Ya, ya, syukur, dah," kata Pak Ustad sambil mengangguk-angguk.

Usai sholat Maghrib, Aji kembali ke gubuknya. Diambilnya buku-buku matematika dan alat tulisnya. Lalu, dia menuju ke jembatan di atas perkampungan pemulung. Dia duduk di bawah lampu di ujung jembatan. Inilah tempat favoritnya untuk belajar. Tempatnya terang dan sejuk. Dia betah berlama-lama belajar disitu.

Sekitar 4 jam Aji mengutak-atik pelajaran matematika yang dipelajarinya di sekolah. Tidak dihiraukannya gigitan nyamuk rawa di sekujur tubuhnya. Tak dihiraukannya pula suara berisik dari warung Bu Citra yang penuh dengan suara orang tertawa dengan kerasnya. Sesekali, disapanya tetangga kampung pemulung yang lewat di depannya.

Aji harus berhati-hati membaca soal dalam buku-bukunya yang sudah kumal. Tulisan dalam buku-bukunya sudah kurang jelas. Buku-buku tersebut adalah buku bekas yang dibeli dari teman pemulung lainnya. Seluruh soal di buku cetak pertama sudah dikerjakannya. Ditelitinya lagi jawabannya. Setelah yakin akan jawabannya, Aji membuka buku yang lain. Dilakukannya hal yang sama pada buku tersebut.

Tak terasa malam sudah semakin larut. Aji menghentikan belajarnya ketika seorang tukang mie lewat. Bunyi kentongan penjual mie menggugah perutnya yang belum diisi dari subuh tadi.
"Bang, mie, Bang!" panggil Aji.
"Mie rebus ya, Bang. Tidak pedas," lanjutnya ketika sang penjual mie mendekatinya.

Penjual mie segera memasakkan pesanan Aji. Bau sedap merasuki hidungnya ketika mie dimasak. Aji segera menyantap mie rebus pesanannya ketika penjual mie memberikannya.

"Lagi belajar, Dik?" tanya penjual mie.
"Ya, Bang. Besok ulangan matematika, nih."
"Emang sekolah dimana?"
"Di kolong jembatan. Nih dibawah sini nih," kata Aji sambil menunjuk bawah jembatan tempat mereka duduk.
"Kelas berapa?"
"Kelas lima. Emang sudah telat sih karena umur saya sekarang sudah 15 tahun, tapi biar aja deh. daripada nggak sekolah?"
"Oh...!!!"

Aji segera menyerahkan piring yang telah kosong isinya kepada penjual mie. Dia juga meminta segelas air putih dari penjual mie tersebut.
"Berapa, Bang?" tanya Aji sambil mengambil beberapa lembar uang kumal dari sakunya.
"Oh, nggak usah, Dik" kata penjual mie.
"Lho, kenapa? Jangan, Bang. Abang khan jual mie untuk cari nafkah buat anak dan istri Abang."
"Udah, nggak apa-apa. Abang nggak punya anak istri. Lagipula, abang seneng lihat anak yang punya semangat belajar kayak kamu. Alhamdulillah, dagangan Abang hari ini lagi laris. Tuh, lihat tuh. Abis khan nasi dan mie Abang."
"Ah, Abang. Baik amat sih."
"Ya, sudah. Kamu pulang sana. Sudah jam 11 malam nih. Besok jangan sampai terlambat ke sekolah, ya."
"Baik, Bang. Terima kasih banyak," kata Aji sambil mencium tangan penjual mie. Penjual mie sedikit tertegun tatkala Aji mencium tangannya.
" Omong-omong, nama kamu siapa?"
"Aji, Bang."
“Orang tua kamu dimana? Pasti mereka seneng punya anak kayak kamu”
“Bapak saya sudah meninggal, Bang, waktu kebakaran di gubuk. Kebakarannya khan malem, Bang. Bapak lagi tidur waktu itu. Untung saya dan ibu lagi cari barang di pasar malem, jadi nggak ikut jadi korban. Cuma sekarang ibu tinggal di kampung di Bantul, jagain nenek yang kejatuhan atap rumah waktu gempa. Lagian, ibu nggak tahan dirazia dan digusur-gusur terus”
"Oh..."
“Assalamu’alaikum, Bang.”
“Wa’alaikum salam.”

Aji segera berjalan menuju gubugnya untuk beristirahat. Dia tidak melihat bahwa sang penjual mie memperhatikannya sampai hilang di kegelapan malam. Air mata menetes di pipi sang penjual mie. Terkenang kembali saat-saat terakhir ombak Tsunami menggulung keluarganya dan rumah makannya. Tidak ada lagi yang dimilikinya ketika seminggu kemudian dirinya tersadar di sebuah posko pengobatan.
"Astagfirullah. Aku tidak boleh menangisi anak dan istriku yang sudah meninggal. Biarlah mereka tenang di alam sana. Astagfirullah, astagfirullah…" kata penjual mie sambil menyeka air matanya.

Sang penjual mie lalu mendorong gerobagnya. Perlahan, didendangkannya lagu Aceh yang sering dinyanyikan almarhum anaknya dan istrinya.

Na bungong Seulanga Keumang saboh bak tangke...

(Ada setangkai bunga Seulanga yang sedang mekar)
...

Rabu, 13 Agustus 2008

Senangnya Belajar Matematika


"Huh, malas ah belajar...susah!!!" begitu keluh Budi setiap kali belajar matematika.


Bapak dan ibunya sudah kebingungan untuk mengajarkan matematika pada Budi. Bu Guru yang dipanggil ke rumah untuk memberi les matematika pun sudah menyerah untuk membujuk Budi agar giat belajar matematika.

"Sabar saja, Bu. Mungkin karena baru awal kelas 1, jadi Budi masih perlu waktu untuk belajar matematika," kata Bu Guru kepada orang tua Budi.


Liburan semeter ganjil tiba. Budi senang bukan kepalang karena tidak harus belajar. Dari pagi sampai sore dia bermain terus dengan teman-teman di lingkungan rumahnya.


Suatu hari, Budi bermain petak umpet dengan teman-temannya. pada giliran pertama, si Anto yang jaga. Anto berhitung sampai 30 dengan keras saat teman-temannya mencari tempat untuk bersembunyi.


Selanjutnya giliran Budi jaga.

"Ayo, Budi, hitung sampai 30 yang keras seperti Anto, ya," kata teman-temannya.

Budi diam saja. Dia malu mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menghitung sampai 30. Budi hanya menutup matanya.

"Budi curang, tidak mau berhitung sampai 30. Ayo cepat hitung yang keras" kata teman-temanya.

Tapi Budi hanya menutup matanya. Dia sangat malu. Dan akhirnya Budi menangis.


Budi akhirnya berlari pulang. dia tidak mau teman-temannya tahu kalau dia tidak bisa berhitung.

"Hik...hik..." tangisnya ketika sampai di rumah.

"Kenapa, Budi? Kenapa kamu menangis? Berantem, ya?" tanya ibunya.

Tangis Budi makin keras. Baru setelah dipeluk ibunya, tangis Budi agak berhenti.


"Kenapa, Budi?" tanya ibunya dengan lembut.

"hik...Bu, aku mau belajar matematika lagi," kata Budi.

"Lho...memangnya kenapa. Ibu senang kamu mau belajar matematika lagi, tapi ceritakan dulu kenapa kamu menangis," bujuk ibu sambil tersenyum.

"Aku malu karena tidak bisa berhitung sampai 30 waktu jaga petak umpet."

"Oh..." kata ibunya sambil mengangguk-angguk.


Sejak itu, Budi rajin belajar, terutama matematika. Bapak dan ibunya sangat senang.


Satu bulan kemudian adalah hari ulang tahun Budi. Bapak dan ibunya merayakannya dengan mengadakan pesta di rumah. Semua teman-teman Budi di rumah diundang. Rumah Budi ramai sekali.


Setelah selesai makan dilanjutkan dengan acara bermain.

"Ayo, mau main apa, Budi?" tanya bapaknya.

"Petak umpet. Aku yang jaga," jawab Budi dengan cepat.

Budi segera menempelkan kepalanya ke dinding dan menutup matanya. Dengan keras dia mulai berhitung.

" Satu, dua, tiga....tiga puluh, tiga puluh satu, tiga puluh dua....seratus."


Budi membuka matanya dan tersenyum kepada bapak dan ibunya. Dia lalu mencari teman-temannya yang bersembunyi.



Jumat, 08 Agustus 2008

Cita-cita Nilo




Siang hari itu terasa panas sekali. Matahari bersinar sangat terik. Debu jalanan yang berterbangan ditiup angin menambah suasana menjadi semakin panas.




"Ouhhh...panasnya. Berendam lagi, ah," kata Nilo, si kuda nil.
Sejak pagi si Nilo hanya berendam saja di kolam. Dia bolos sekolah. Baju sekolah dan tas sekolahnya dibiarkan tergeletak di pinggir kolam.

Di sekolah, Bu Guru mencari Nilo. Bu Guru Kuda menanyakan kepada teman-teman Nilo perihal Nilo, tapi teman-teman sekelas tidak ada yang tahu kemana perginya Nilo. Akhirnya Bu Guru meminta bantuan Pak Satpam Beruang untuk mencari Nilo.

Setelah mencari kesana kemari, Pak Satpam Beruang akhirnya menemukan si Nilo.
"Nilo, ayo masuk sekolah. Bu Guru mencari kamu," kata Pak Satpam Beruang.
"Nggak mau, aku mau berendam aja," kata Nilo.

Karena tidak berhasil membujuk Nilo, akhirnya Pak Satpam kembali ke sekolah dan melaporkannya kepada Bu Guru.

Setelah mendapat laporan, Bu Guru Kuda minta diantar Pak Satpam Beruang ke kolam tempat Nilo berendam. Ketika sampai di kolam, Bu Guru melihat Nilo sedang berendam dengan mata tertutup.

"Nilo," kata Bu Guru pelan untuk membangunkan Nilo.

"Eh, Bu Guru. Maaf Bu Guru aku bolos sekolah karena badanku kepanasan," kata Nilo.

"lho, khan kamu sudah berendam di rumah tadi malam," kata Bu Guru.

"Belum. Soalnya sumur di rumahku sudah kering, sehingga aku tidak dapat berendam di kamar mandi. kenapa sih sumur di rumahku kering, Bu Guru?" tanya Nilo.

"Oh...memang sekarang musim kemarau Nilo, jadi tidak ada hujan yang dapat menambah air tanah. Akibatnya sumur-sumur jadi kering," kata Bu Guru.

"Tapi waktu aku masih kecil sumurku nggak pernah kering, Bu Guru. Kenapa sekarang jadi kering kalau musim kemarau?" tanya Nilo.

"Itulah akibat penebangan hutan disini, Nilo. Kamu pasti masih ingat betapa lebatnya hutan kita ini beberapa tahun lalu."

"Memangnya siapa yang menebang hutan kita, Bu Guru?"

"Para penjahat. Tapi sekarang mereka sudah ditangkap polisi," kata Bu Guru.

"Huh...gara-gara penjahat itu, aku jadi susah berendam. Aku mau jadi polisi biar bisa menangkap para penjahat itu," kata Nilo.

"Wah, cita-cita yang hebat Nilo. Tapi kamu harus rajin sekolah dulu agar menjadi polisi yang hebat."

"Siap, Bu Guru," kata Nilo dengan penuh semangat.



Akhirnya Nilo mau bersekolah kembali. Karena dia tahu, untuk menjadi polisi yang hebat harus rajin belajar.






Kamis, 07 Agustus 2008


Allah SWT berfirman pada hari kiamat kepada anak-anak: "Masuklah kalian ke dalam surga!" Anak-anak itu berkata: "Ya Rabbi (kami menunggu) hingga ayah ibu kami masuk."

Lalu mereka mendekati pintu syurga! tapi tidak mau masuk ke dalamnya.

Allah berfirman lagi: "Mengapa, Aku lihat mereka enggan masuk? Masuklah kalian kedalam surga!"

Mereka menjawab: "Tetapi (bagaimana) orang tua kami?"

Allah pun berfirman: "Masuklah kalian ke dalam syurga bersama orang tua kalian."

(Hadits Qudsi Riwayat Ahmad dari Syurahbil bin Syua'ah yang bersumber dari sahabat Nabi SAW)

On Children

Khahlil Gibran


Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah putra putri dari kehidupan yang merindukan dirinya sendiri. Mereka datang melaluimu tetapi bukan darimu,Dan walaupun mereka tinggal bersamamu, mereka bukanlah milikmu.

Kau dapat memberikan kasih-sayangmu tetapi tidak pikiranmu, karena mereka mempunyai pemikiran sendiri.
Kau dapat memberikan tempat untuk raga tetapi tidak untuk jiwa mereka, karena jiwa mereka menghuni rumah masa depan, yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tak juga dalam mimpi-mimpimu.
Kau dapat berupaya keras untuk menjadi seperti mereka, tetapi jangan mencoba membuat mereka sepertimu, karena kehidupan tidak berjalan ke belakang juga tak tinggal di masa lalu.

Kau adalah busur dari mana anak-anakmu melesat ke depan sebagai anak panah hidup…Sang pemanah melihat sasaran di atas jalur di tengah keabadian, dan DIA meliukkanmu dengan kekuatanNYA sehingga anak panahNYA dapat melesat dengan cepat dan jauh. Biarkanlah liukkanmu di tangan sang pemanah menjadi keceriaan; Bahkan DIA pun mengasihi anak panah yang terbang, demikian juga DIA mengasihi busur yang mantap.

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS 31:18)

Jumat, 01 Agustus 2008

Bimbi


Bimbi adalah seekor anak beruang yang sombong. Dia selalu mengakui bahwa dirinyalah yang paling kuat dan paling hebat. "Akulah anak terhebat di sekolah," begitu selalu akunya.



Suatu hari Bimbi bolos sekolah. Dia pergi ke dalam hutan di atas gunung seorang diri. Sesampai di hutang dia membuka bekalnya. "Hmmm...enaknya kue buatan ibu..."



Setelah menghabiskan bekalnya, Bimbi pun mengantuk. 'Ouh..." Dan Bimbi pun tertidur.


Bimbi tertidur sangat pulas, sehingga dia tidak menyadari bahwa hari sudah mulai gelap.


Betapa kagetnya dia ketika menyadari hari sudah gelap tatkala dia terbangun.

'Hah...dimana aku? Gelap sekali. Pasti aku sedang bermimpi," kata Bimbi sambil mengusap-usap matanya. Bimbi menangis ketika menyadari bahwa dirinya tidak bermimpi. Dia kebingungan mencari arah pulang.




Beruntunglah, si Kunti kunang-kunang melihatnya.

"Kamu kenapa, Bimbi? Kenapa kamu ada disini malam-malam?" tanya Kunti.

"Hu...aku tidak bisa pulang. Ibu aku takut...!!!" rengek Bimbi.

"Sudah jangan menangis. Ayo aku antar pulang." kata Kunti.

"Memang kamu arah ke rumahku?" tanya Bimbi.

"Tenang saja Bimbi. Aku khan kunang-kunang. sayapku mengeluarkan sinar sehingga bisa membantuku dan kamu menuju ke rumahmu. Ayo ikuti aku."



Dengan sinar yang keluar dari sayapnya, dengan mudah Si Kunti terbang mencari arah pulang ke rumah Bimbi. Bimbi pun mudah mengikuti si Kunti terbang.

"Sinar di sayapmu indah sekali, Kunti. Aku jadi iri," kata Bimbi sambil mengikuti si Kunti.

"Bimbi, setiap makhluk Tuhan pasti punya kelebihan. Kita tidak boleh iri satu sama lain. Kita juga tidak boleh sombong akan kelebihan kita," kata Kunti.

"Iya, ya, Kunti. Aku jadi malu karena selama ini sudah menyombongkan kekuatanku. Ternyata kesombonganku tidak ada gunanya, ya," sesal Bimbi.

"Ya sudah, Bimbi. Yang penting kamu sudah menyesali perbuatanmu dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Hei...sudah sampai di rumahmu," kata Kunti.

"Hore...aku sampai di rumah. Terima kasih, Kunti. Ayo masuk ke rumahku. Aku mau memberimu kue karena sudah menolongku. Selain itu, kamu juga sudah menyadarkanku agar aku tidak sombong lagi. Ibuku pasti suka padamu."

"Baiklah," kata Kunti sambil tersenyum.




Malam itu menjadi malam yang sangat berkesan bagi Bimbi walaupun harus menjalani hukuman seminggu tanpa uang saku.


DONGENG/CERITA GRATIS UNTUK ANAK INDONESIA
DIPERSILAKAN MENGAMBIL SEBAGIAN ATAU SELURUH IDE/ISI CERITA UNTUK KEPENTINGAN SOSIAL/NON KOMERSIAL