Pagi itu Aji masih membaca buku pelajarannya. Karungnya masih dijemur di atap gubuk. Hari ini dia ingin bersekolah dulu di pagi hari. Siang nanti baru dia akan berkeliling mencari barang bekas.
Dilihatnya jam menunjukkkan pukul 6. Dia pun bergegas menuju ke kamar mandi. Ketika dilihatnya kamar mandi masih penuh oleh ibu-ibu yang mencuci pakaian, dia pun menuju ke mushola.
Segar terasa saat air keran menerpa mukanya. Apalagi saat ditundukkannya kepalanya sehingga air keran dapat membasahi seluruh bagian kepalanya. Diambilnya sabun dan diusapnya seluruh kepala, tangan dan kakinya dengan sabun tersebut. Setelah itu dibilasnya busa-busa sabun di tangan, kepala dan kakinya.
Cukup sudah acara membersihkan badan pagi ini. Segera Aji pulang dan berganti baju. Diambilnya tas sekolahnya dan dipakainya sepatu bututnya. Dirinya tersenyum sendiri saat melihat jempol kaki mencuat dari ujung sepatunya.
"Ji, kamu sekolah nggak hari ini? Besok Senin ulangan lho," kata Asep, temannya sesama pemulung dari depan gubuk.
"Sekolah. Ayo berangkat. Aku sudah siap," kata Aji sambil keluar dari gubuknya.
Keduanya segera berjalan ke bawah jembatan. Suasana sekolah di bawah jembatan sudah ramai. Hari itu banyak yang masuk sekolah karena minggu depan ulangan sebelum libur lebaran. Keramaian berhenti saat para guru dan Pak Ustad Mansyur datang. Para murid mencium tangan para guru dan bergegas duduk di kursi.
Pelajaran berlangsung hingga pukul 12. Para murid kembali mencium tangan para guru dan berhamburan ke gubuk masing-masing. Mereka harus segara kembali bekerja.
Aji segera mengganti baju sekolahnya setelah sampai ke rumah. Dia mengambil karungnya dan bersiap berkeliling. Ketika keluar dari gubuknya, dilihatnya si Budi temannya sesama pemulung sedang menghitung uang.
"Wah, banyak uang nih," kata Aji kepada Budi.
"Eh, Ji. Iya nih. Aku lagi hitung uang buat beli sepeda. Ada yang jual sepeda murah tuh, masih bagus lagi. Lumayan, Ji. Buat adikku di Pandeglang."
Sepeda!!! Pikiran Aji segera teringat kejadian di kantor polisi saat dirinya dinterogasi karena dituduh mencuri sepeda.
"Siapa yang jual sepeda, Bud?"
"Itu, si Jabrik yang tinggal di belakang pabrik tahu. Kemarin dia mengajak aku ke rumahnya untuk lihat sepedanya. Bagus sepedanya."
"Sepeda dari mana dia?"
"Katanya sih dari di pasar loak."
Aji terdiam. Dia tahu si Jabrik. Anak tersebut sudah terkenal gesit sehingga beberapa kali juara panjat pinang. Namun, beberapa kali juga dia berurusan dengan polisi karena suka mencuri.
"Jangan-jangan dia pencuri sepeda di Perumahan Maharaja. Pantas aku yang dikira mencuri, karena memang tingginya sama dengan aku," pikir Aji.
"Aku ikut dong, Bud. Aku ingin lihat sepedanya."
"Ayo..."
Budi dan Aji menuju ke rumah Jabrik. Terlihat si Jabrik sedang tiduran sambil menonton TV di gubuknya.
"Hei, Brik. Lagi santai nih? Mana sepedanya?" Sapa Budi.
"Iya. Masak kerja melulu. Tuh sepedanya," kata Jabrik sambil menunjuk sepeda yang bersandar di jendela dalam gubuknya.
Aji tercekat. Sepeda tersebut benar-benar masih baru. Tidak mungkin Jabrik membelinya di pasar loak.
"Nih uangnya. Dua ratus ribu, khan?" tanya Budi sambil menyerahkan gulungan uangnya.
Jabrik segera menghitung uang yang diserahkan Budi.
"Tambah dua puluh lima ribu lagi dong," pinta Jabrik.
"Wah, lu gimana sih, Brik. Kata lu kemarin dua ratus ribu."
"Ya, itu kemarin. Kalau mau yang silakan kalau ngak mau ya gue balikin duitnya nih. masih banyak yang mau," kata jabrik sambil menyerahkan kembali uang ke Budi.
"Yah, gue udah nggak punya uang, Brik," sesal Budi.
Karena tidak terjadi kata sepakat, akhirnya Budi pulang dengan tangan hampa. Dirinya kesal bukan kepalang.
"Sabar, Bud. Ini bulan puasa," hibur Aji.
"Iya sih. Tapi dasar Jabrik bikin gue kesel aja. Khan kasihan adik gue kalau tahu nggak jadi dibeliin sepeda," sungut Budi.
"Tapi, Bud, aku curiga deh sama sepeda tadi. Masak sepeda masih baru begitu beli di pasar loak," kata Aji.
"Maksud lu, dia mencuri gitu?" Tanya Budi.
"Ya, kita nggak boleh buruk sangka sih. Tapi aku kemarin diperiksa di kantor polisi karena dikira mencuri sepeda di komplek Maharaja. Untung datang Pak Ustad yang menjelaskan kalau aku masih mengaji jam 5 pagi hari itu."
"Hmmm...mungkin juga ya Bud. Gimana kalau kita temui Ustad Mansyur untuk memberi tahu hal ini."
"Ayo!"
Berdua mereka bergegas ke rumah Ustad Mansyur.
"Assalamualaikum," salam Aji dan Budi dari depan rumah Pak Ustad mansyur.
"Waalaikumsalam," balas Pak Ustad Mansyur dari dalam rumahnya." Wah, ada apa nih siang-siang pada kesini. Udah pada sholat Lohor belum?"
"Belum, Pak Ustad. Ada hal penting yang ingin kami beritahukan," kata Aji.
"Silakan-silakan masuk. Silakan duduk. Tapi janji ya, setelah ini kalian harus sholat Lohor dulu."
"Baik, Pak Ustad," kata Aji dan Budi berbarengan.
"Pak ustad ingat kejadian minggu lalu saat saya dibawa ke kantor polisi?" Tanya Aji.
"Iya. Kenapa. Kamu dipanggil lagi sama polisi, Ji?"
"Bukan, Pak Ustad. Tadi saya dan Budi ke rumah si Jabrik. Itu anak yang tinggal di belakang pabrik tahu. Dia tadi jual sepeda ke Budi tapi batal karena minta tambahan duit. Nah, saya curiga sama sepeda tersebut, Pak Ustad. Bukan maksudnya su'udzon nih pak Ustad. Jangan-jangan sepeda itu yang dicuri dari Komplek Maharaja. Soalnya sepedanya masih baru jadi nggak mungkin dibeli dari pasar loak," kata Aji.
"Oh..." kata pak Ustad sambil manggut-manggut. " Begini saja. Kita ke komplek Maharaja. Kita laporkan ke Pak satpamnya, biar mereka yang mencari informasi."
"Bapak saja, ya. Saya masih takut, Pak," pinta Aji.
"Sama saya aja, Pak Ustad,"kata Budi.
Aji akhirnya tidak ikut. Setelah sholat berjamaah dengan Budi, dirinya berkeliling.
Menjelang Maghrib Aji bergegas kembali ke gubuknya. Sesampai di depan perkampungan pemulung, dilihatnya ada mobil bak tertutup sedang menurunkan kardus. Aji tidak terlalu memperhatikan mobil tersebut dan orang-orang yang sedang menurunkan kardus. Dia ingin segera mandi dan ke Mushola untuk sholat.
Selesai mandi terdengar Adzan Magdrib sudah bergema. Segera Aji meneguk air putih dari botol plastiknya. Tak lupa dirinya berdoa berbuka puasa. Dia pun bergegas ke Mushola.
Sesampai di Mushola, sholat Maghrib sudah dimulai. Aji segera mengikuti sholat berjamaah tersebut.
Selesai sholat, semua duduk untuk mendengarkan ceramah dari Pak Ustad.
"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Alhamdulillah, hari ini kita sudah menyelesaikan hari ke-22 puasa Ramadhan kita. Begitu banyak kenikmatan Ramadhan yang telah kita rasakan.
Hari ini kita kedatangan tamu yaitu Pak Imam yang duduk disebelah sana. Pak Imam datang untuk memberikan makanan berbuka dan shodaqoh bagi kita semua. Selain itu, Pak Imam ingin memberikan hadiah atas kesabaran seorang jamaah Mushola ini yang sangat sabar dalam menghadapi cobaan di bulan yang penuh berkah ini. Jadi, saya nggak akan banyak bicara saat ini. Lebih baik kita makan dulu jamuan dari pak Imam."
Kotak makanan segera dibagikan. Jumlahnya sangat banyak, sehingga kotak makan dibagikan juga kepada ibu-ibu dan anak-anak yang tidak hadir di Mushola.
'Kasih yang rata ke semua warga ya, termasuk yang tidak puasa. Kotaknya banyak sekali jadi cukup untuk semua warga," kata Pak Ustad kepada anak-anak yang membagi makanan berbuka tersebut.
Selesai makan, Pak Ustad mempersilakan Pak Imam untuk memberikan sambutannya.
"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Hadirin yang saya kasihi, ijinkan saya untuk menyampaikan sepatah dua patah kata. Sebelumnya saya ingin menyampaikan maaf kepada Aji. Yang mana Aji?"
Pak Ustad pun segera memanggil Aji untuk mendekat ke Pak Imam.
"Aji, saya dan keluarga serta para satpam di komplek saya mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada kamu. Kami telah menuduh kamu mencuri sepeda anak saya sehingga kamu dibawa ke kantor polisi. Kamu mau khan memaafkan kami?"
Aji terbengong-bengong. Namun akhirnya dia mengangguk.
"Terima kasih Aji. Semoga Allah SWT memberikan pahala buat kamu dan memafkan dosa-dosa kami."
"Amiiin..," kata seluruh hadirin
"Selain itu, saya juga ingin memberikan sedikit bantuan untuk sekolah dan Mushola ini. Pak Ustad telah menyadarkan saya perlunya membersihkan harta. Alhamdulillah, Tuhan masih memberikan kesempatan kepada saya untuk membersihkan harta saya. Selama ini saya telah khilaf karena mengira harta yang saya peroleh dengan bekerja keras tiap hari adalah hak saya sepenuhnya. semoga sumbangan yang tidak seberapa ini dapat berguna bagi kita semua."
"Amiiin.."
"Hmm...saya rasa cukup. Maaf tidak bisa berlama-lama karena harus kembali ke kantor. Terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullah Wabaraktuh."
"Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh."
Pak Imam lalu pamit untuk pulang. Dia bersalaman dengan seluruh hadirin.
Saat akan pulang, dia berbicara dulu dengan Pak Ustad. Pak Ustad lalu memanggil Aji.
"Ji, sini dulu."
"Ya, Pak Ustad."
"Ji, Pak Imam senang kamu sudah memafkan keluarganya. Makanya beliau ingin memberi kamu hadiah. Tadi Pak Imam tanya asal kamu. Begitu tahu kamu dari Bantul pak Imam menjanjikan memberi tiket bus pulang pergi. Kamu mau khan? Kamu khan pasti sudah kangen dengan ibumu."
Aji tidak mampu berkata apa-apa. Dia hanya mengangguk.
"Ji, besok kamu ke rumah Bapak, ya," pinta Pak Imam.
Kembali Aji hanya mengangguk.
"Baik Pak Ustad, Ji, saya pulang dulu. jangan lupa besok ya, Ji. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Pak Imam membuka pintu belakang mobilnya. Tampak seorang gadis yang duduk di dalamnya. Gadis tersebut tersenyum kepada Aji.
"Arni, itu Aji. Dia besok akan ke rumah kita. Bukan begitu Aji?"
Aji tidak mampu berkata apa-apa. Pandangannya berbinar-binar. Pikirannya dipenuhi oleh tiga orang wanita. Ibunya dan neneknya di kampung, serta...bidadari yang tersenyum dari balik pintu mobil tadi.
Pak Ustad mengelus dada melihat Aji diam tertegun sambil senyum-senyum sendiri.
"Istighfar, Ji." kata Pak Ustad sambil berlalu setelah mobil Pak Imam pergi.
Aji pun beranjak sambil tersipu.